JADWAL SIDANG KASUS SEWA PESAWAT MERPATI

MA MEMVONIS EMPAT TAHUN DAN DENDA RP 200 JUTA ATAS KASUS MERPATI. KEPUTUSAN YANG SUNGGUH MENGEJUTKAN. PADAHAL SEBELUMNYA PENGADILAN TIPIKOR JAKARTA MEMVONIS BEBAS. HARAPAN ADA DI PENGAJUAN PK. MOHON DUKUNGAN DEMI TEGAKNYA KEADILAN. |

Untuk Apa Kasasi Lagi?




Pada tanggal 19 Februari 2013 tepat pk 16.21, Majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta di Kuningan membaca putusan vonis bebas atas semua dakwaan jaksa terhadap saya dan Tony Sudjiarto atas perkara sewa pesawat Merpati. Konon putusan ini pertama kali di pengadilan khusus Tipikor Jakarta sejak dibentuk tahun 2004. Tentu kami sangat terkejut dan bersyukur kepada Tuhan YME menyambut putusan Majelis hakim itu, walaupun sejak awal kami dan semua saksi meyakini perkara ini bukan pidana sama sekali.

Seperti diketahui, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut saya dengan hukuman 4 tahun atas dakwaan subsider pasal 3 UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001. Adapun dakwaan primer atas pasal 2 telah digugurkan sendiri oleh JPU. Saya didakwa menyalahgunakan wewenang mengirim deposit sebesar US$ 1 juta untuk sewa 2 pesawat B737 Classic kepada pihak lessor Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG) pada Desember 2006. Karena TALG gagal menyerahkan kedua pesawat dan menolak mengembalikan deposit itu, maka dianggap telah terjadi kerugian negara. Saya juga didakwa melanggar aturan BUMN tentang penyusunan Rencana Kerja Anggaran (RKA) 2006. Kemudian saya didakwa mengetahui sebelumnya bahwa deposit itu akan digunakan untuk uang muka (down payment) pesawat itu ke pihak pemilik Lehman Brothers.

Dari rekaman kami sebelum menerima amar putusan yang resmi, Majelis hakim menguraikan kajian yuridis atas unsur-unsur yang ada di dakwaan primer dan subsider itu terhadap perkara ini. Majelis tidak menemukan bukti sah dan meyakinkan adanya kesengajaan atau niat untuk melakukan perbuatan melawan hukum seperti di pasal 2 UU Tipikor itu. Majelis juga menyimpulkan Direksi Merpati telah mengambil keputusan secara bersama/kolegial sesuai kewenangannya, dengan hati-hati, dan telah mengupayakan memeriksa latar belakang TALG. Majelis juga menerima bukti adanya pasal flexibilitas untuk merubah tipe armada pesawat yang tercantum di RKA seperti yang telah dijelaskan oleh saksi mantan Komisaris dan Pemegang Saham. Selain itu Majelis menilai penempatan deposit untuk mengikat pesawat adalah hal yang lazim di bisnis penerbangan. Dengan demikian unsur ‘perbuatan melawan hukum’ gugur dan dakwaan primer tidak terbukti.

Pada dakwaan subsider di pasal 3, Majelis tidak melihat bukti yang sah dan meyakinkan bahwa kami Direksi Merpati menempatkan deposit itu dengan tujuan “sengaja” untuk menguntungkan orang lain. Menurut Majelis, di setiap perjanjian bisnis masing-masing pihak tentunya bertujuan mencari keuntungan, sehingga dalam perjanjian sewa pesawat ini baik Merpati dan TALG telah menghitung target keuntungan masing-masing. Oleh karena itu maksud unsur “tujuan menguntungkan orang lain” itu tidak bisa diterapkan untuk perjanjian seperti ini. Majelis juga menganggap letter of intent (LOI) yang memuat perjanjian pokok antara Merpati dan TALG adalah sah dan mengikat. Hal ini diperkuat oleh putusan pengadilan di Washington DC yang memenangkan gugatan Merpati atas TALG di 2007.

Di bagian lain, Majelis menjelaskan lingkup “resiko bisnis”, yaitu hal-hal yang di luar kendali dan pengetahuan dari Direksi sebelum pengambilan keputusan, sejauh dapat dibuktikan dengan niat baik dan telah melakukan upaya maksimal untuk mendapat informasi sebanyak mungkin untuk menghindari resiko kerugian. Majelis menyatakan “resiko bisnis” tidak masuk dalam ranah pidana korupsi.Atas telaah yuridis itu, Majelis memutuskan bebas murni (vrijspak) dan memerintahkan JPU untuk mengembalikan seluruh hak kami. Walaupun salah satu hakim anggota menyampaikan dissenting opinion yang tidak berbeda dari dakwaan JPU, tapi putusan akhir tetap, yaitu kami memperoleh kebebasan penuh sebagai warga negara.Setelah putusan itu, kami mendengar di media bahwa Jaksa berniat untuk mengajukan kasasi atas putusan bebas ini. Sebagai seorang awam, niat Jaksa ini sungguh sangat mengherankan. Di berbagai negara, sebuah putusan bebas atas seorang terdakwa di pengadilan pidana adalah final dan tidak bisa naik di-banding, apalagi di-kasasi. Perkara yang sama tidak bisa dibuka lagi, kecuali ada bukti baru yang sangat meyakinkan. Setelah mengumpulkan bahan dan nasehat, perkenankan saya memohon kesediaan Kejaksaan untuk mengurungkan niat itu untuk 3 alasan.

Alasan pertama adalah sebagai penegak hukum, Jaksa justru harus memberi contoh untuk patuh pada perundangan, khususnya UU no.8 /1981 tentang KUHAP. Pasal 244 KUHAP menyatakan: “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”. Frasa terakhir itu sudah sangat jelas bahwa kasasi tidak berlaku pada “putusan bebas”.

Namun Kejaksaan akan berkeras bahwa kasasi sudah merupakan yurisprudensi selama 30 tahun dan toh pun diterima oleh Mahkamah Agung. Padahal yurisprudensi ini dibuat di saat rezim Orde Baru dimana para hakim masih di bawah kekuasaan eksekutif yaitu Menteri Kehakiman, dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehakiman RI No.M.14-PW.07.03/1983 yang menyatakan, kasasi atas putusan vonis bebas dapat dilakukan sesuai situasi dan kondisi (sikon). Namun kriteria atas sikon itu tidak ada sehingga tidak jelas syaratnya. Rezim waktu itu bebas menentukan ‘kasasi atas vonis bebas’ dari suatu perkara secara sepihak.Hingga hari ini, 15 tahun setelah Reformasi, paradigma Kejaksaan masih di dalam ‘kebiasaan’ rezim Orde Baru itu. Jika tidak kasasi, Kejaksaan kuatir dipertanyakan banyak pihak. Karena pencitraan adalah hal penting, maka sulit bagi Kejaksaan untuk tidak kasasi. Ketidakpastian hukum dari kontradiksi antara yurisprudensi dan perundangan dibiarkan terus. Akibatnya penegak hukum seperti Kejaksaan cenderung menafikkan prinsip ‘civil law’ bangsa ini, bahwa perundangan adalah sumber hukum utama, mendahului yurisprudensi/kebiasaan. Untuk itu, kami mengajak Kejaksaan melihat perkara ini sebagai sebuah peluang sejarah besar untuk swa- koreksi dan menjunjung hukum. Kejaksaan mampu menjelaskan hal ini kepada masyarakat bahwa KUHAP memang tidak membolehkan kasasi kecuali jika ditemukan kejanggalan atau pelanggaran perundangan dalam proses pembuatan putusan.

Alasan kedua adalah Jaksa harus “fair” menerima putusan pengadilan, seperti seorang yang ingin bertanding harus menerima hasil, siap berhasil atau siap gagal. Jaksa lah yang membawa perkara ini ke pengadilan, artinya jaksa percaya atas asas res judicata provaritate habetur yang berarti setiap putusan hakim harus dianggap benar dan harus dihormati. Nilai “satya” dari falsafah Tri Krama Adhyaksa seharusnya dipegang teguh. Jaksa harus jujur dan mengakui hasil pengadilan ini karena Majelis telah memberi kesempatan yang sama kepada semua pihak untuk mengajukan bukti dan analisa setiap minggu selama 8 bulan. Sebagai penuntut umum, Kejaksaan telah mengerahkan seluruh upayanya membuktikan dakwaannya di pengadilan. Tidak tepat adanya ungkapan jaksa “gengsi” jika tidak mengajukan kasasi terhadap vonis bebas, seolah mengakui “kekalahan”. Pengadilan bukan arena menang-kalah, tapi sebuah “sidang Ilahi”. Mengapa kita membiarkan gengsi di atas kebenaran? Di saat penyidikan, jaksa tidak mau menerima semua bukti kami yang meringankan dan selalu menyatakan “silakan ajukan bukti itu di pengadilan, dan apabila Hakim menerima, maka kami akan menerima.” Lalu setelah keputusan vonis bebas, mengapa sekarang Jaksa tidak menerima putusan Hakim?  

Alasan ketiga adalah menyangkut hak azasi saya yang telah dirampas sejak saya ditetapkan sebagai Tersangka secara terburu-buru di Agustus 2011. Putusan bebas murni yang saya peroleh sungguh sebuah tegukan air di tengah padang gurun ketidakpastian hukum di negeri ini. Saya merasakan hilangnya hak-hak dasar saya untuk mobilisasi hidup. Nama baik dan reputasi saya telah dirusak sejak berita penetapan Tersangka dari Kejaksaan. Masyarakat sudah mem-vonis saya bersalah dan dicap sebagai “koruptor”.
Namun kemudian, setelah seluruh proses pengadilan diliput media, maka kepercayaan masyarakat berangsur pulih terhadap saya dan meyimpulkan bahwa perkara ini memang bukan ranah pidana korupsi. Sangat tidak adil, jika kecerobohan oknum Jaksa memaksakan perkara ini ke pengadilan masih diteruskan dengan proses kasasi. Masa depan saya kembali tergantung. Bagi jaksa, ini mungkin menyangkut gengsi dan citra. Polemik teknis legal atas ‘kasasi atas vonis bebas’ ini boleh saja terus berlanjut di masyarakat hukum. Namun bagi saya, seorang manusia biasa hidup di negara hukum, hal ini menyangkut penghidupan dan masa depan anak-anak saya yang masih kecil.

Terakhir, siapa yang bersalah dari perkara Merpati ini? Jawabannya jelas. Kedua warga negara AS pemilik TALG yang telah mengaku mengambil uang deposit Merpati.  Kejaksaan sebaiknya berupaya keras untuk menagih ke AS bekerja sama dengan Interpol, KBRI, dan FBI. Kejaksaan juga harus memantau pengadilan pidana atas Jon Coooper, pemilik TALG, yang sedang berlangsung di Washington DC. Saya bersedia membantu bila diperlukan. Tindakan ini lebih berguna bagi negara dan Merpati, daripada memaksakan noktah hukum demi menyiksa saya.Semoga Kejaksaan terketuk hatinya untuk tidak melanggar KUHAP.Hotasi NababanMantan Dirut MNA 2002-2008
x

1 komentar: