JADWAL SIDANG KASUS SEWA PESAWAT MERPATI

MA MEMVONIS EMPAT TAHUN DAN DENDA RP 200 JUTA ATAS KASUS MERPATI. KEPUTUSAN YANG SUNGGUH MENGEJUTKAN. PADAHAL SEBELUMNYA PENGADILAN TIPIKOR JAKARTA MEMVONIS BEBAS. HARAPAN ADA DI PENGAJUAN PK. MOHON DUKUNGAN DEMI TEGAKNYA KEADILAN. |

Kriminalisasi Kebijakan Direksi? Studi Kasus Sewa-Menyewa Pesawat PT Merpati Nusantara Airlines


“Saya kehilangan mobil, lalu panggil polisi. Kami pun sepakat untuk mengejar maling itu dan ketemu. Maling itu mengaku. Namun dia ada di seberang sungai. Untuk menyeberang sungai perlu peralatan dan usaha. Jadi, kami balik ke rumah dulu. Begitu sampai di rumah, saya ditahan polisi. Alasan polisi: gerbang rumah saya tidak digembok, karena maling mencuri mobil saya. Jadi, obyek masalah dalam kasus ini diabaikan.”
Itulah ilustrasi terkait kasus penyewaan pesawat oleh PT Merpati Nusantara Airlines pada 2006, yang oleh kejaksaan diindikasi berbau korupsi.

Melihat kembali ke belakang, kasus penyewaan pesawat ini dilatari oleh krisis perusahaan yang dialami Merpati pada 2006. Saat itu, Merpati kekurangan pesawat. Untuk menambah pemasukan perusahaan, Merpati harus menambah pesawat. Namun tak mudah untuk menambah pesawat melalui sewa. Pihak pemberi sewa pesawat di Amerika Serikat menganggap Merpati kurang kredibel. Dengan demikian, ketika ingin menyewa pesawat, Merpati harus membayarnya di muka, sementara keuangan perusahaan Merpati saat itu kurang memungkinkan.

Maka, setelah mengumpulkan uang yang cukup, direksi Merpati pun memberanikan diri menyewa pesawat. Kebetulan ada yang mau menyewakan pesawat dengan harga yang menarik. Namun, lagi-lagi, pihak pemberi sewa, dalam hal ini Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG) dari Amerika Serikat, ingin Merpati membayar uang sewa secara tunai di muka.

Jika menggunakan uang tunai, Merpati menganggap risikonya terlalu besar. Lalu, disepakatilah menggunakan security deposit. Uang dititipkan ke pihak ketiga yang independen dan memiliki dasar hukum yang kuat. Jadi, ketika sewa pesawat batal, uang bisa kembali.

Ternyata TALG tidak mengirim dua pesawat yang dijanjikan. Padahal uang US$ 1 juta untuk sewa pesawat sudah dikirim ke security deposit. Ketika security deposit akan diminta, TALG mengambil uang tersebut dari pihak ketiga dengan cara ilegal. Merpati pun mengadukan tindak pidana ini ke pengadilan Amerika Serikat. Akhirnya, pengadilan AS memutuskan TALG bersalah dan harus mengembalikan uang US$ 1 juta yang diambil dari Merpati.

Hingga saat ini, TALG baru mengembalikan US$ 4.800 dari US$ 1 juta uang Merpati. Yang mengherankan dari kasus ini, tiba-tiba kejaksaan menganggap kasus gagalnya sewa pesawat yang dilakukan Merpati ke TALG itu dianggap sebagai perkara korupsi. Direktur Utama dan GM Pengadaan Pesawat Merpati dijadikan tersangka.

Bagaimana bisa sebuah kasus wanprestasi alias perkara perdata masuk dalam ranah korupsi? Inilah yang menjadi materi dalam diskusi Lembaga Komisaris dan Direktur Indonesia (LKDI) pada 19 Desember 2012. Dalam diskusi ini dibahas risiko pengambilan keputusan oleh direksi perusahaan (BUMN) yang bisa berakibat kriminalisasi oleh penegak hukum. Para pejabat perusahaan BUMN diminta harus waspada ketika mengambil keputusan bisnis. Ini karena mereka bisa berpotensi dikriminalkan (dianggap korupsi) ketika kebijakan tersebut merugikan keuangan negara.

Dari diskusi ini dapat ditarik kesimpulan bahwa kasus kriminalisasi kebijakan direksi bisa membuat BUMN tidak lincah dalam menjalankan bisnis. Para direksi menjadi takut jika ingin membuat keputusan. Bahkan, para direksi bisa mengambil kesimpulan, lebih baik “tidak berbuat apa-apa” daripada mengambil kebijakan bisnis tetapi dikriminalkan kalau perusahaan rugi. Ini tentu saja membuat bisnis menjadi tidak berkembang. Di mana pun bisnis selalu mengandung risiko. Itu wajar. Yang tidak wajar adalah ketika direksi menjalankan bisnis BUMN, kerugian dianggap suatu tindakan kriminal. Dan direksinya dipidanakan. Preseden ini tentu bisa membuat para profesional takut menjalankan profesi secara maksimal.

Semoga kasus penyewaan pesawat oleh Merpati ini tidak menjadi “martil” dari kebijakan direksi yang berujung pada kriminalisasi.

Sidang Tuntutan Kasus Penyewaan Pesawat Merpati Ditunda


Sidang dengan agenda pembacaan tuntutan terhadap mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines, Hotasi Nababan ditunda. Sidang akan digelar pada 7 Januari 2013.

"Ditunda jadi tanggal 7 Januari," kata anggota tim jaksa penuntut umum, Frenkie Son, Kamis (20/12/2012). Frenkie tidak menjelaskan alasan penundaan sidang hari ini. "Saya tidak tahu karena juga hanya diinformasikan anggota lain bahwa sidang ditunda," sambungnya.

Sedianya tim JPU juga akan membacakan tuntutan terhadap mantan General Manager Aircraft Procurement PT MNA, Tony Sudjiarto.

Dalam sidang pekan lalu (13/12), Hotasi menegaskan sewa pesawat sesuai dengan prosedur yang diatur perusahaan. Sementara skema penempatan uang kepada pihak penyewa atau security deposit lazim dilakukan di dunia penerbangan.

Dia menjelaskan security deposit dilakukan sebagai pengikat perjanjian sewa pesawat antara maskapai dan penyewa pesawat. Dalam penyewaan 2 pesawat pada tahun 2006, Merpati menempatkan security deposit sebesar US$ 1 juta di rekening Hume and Associates PC sesuai kesepakatan dengan pihak penyewa yakni Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG).

Lima Direksi Merpati menyetujui pembayaran security deposit karena pihak pengadaan pesawat telah melakukan penyelidikan atau uji tuntas untuk menilai perusahaan penyewa guna menghindari kerugian akibat perjanjian. Mengenai pemilihan tipe pesawat yang dipermasalahkan jaksa, Hotasi menjawab tipe classic family yakni Boeing 737-400 dan 737-500 paling menguntungkan untuk bisnis penerbangan.

Berita dikutip dari Detik.com

Semua Staf PT Merpati Nusantara Airlines Ingin Menyewa Boeing Tipe 737-400




Mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines (MNA), Hotasi Nababan, menegaskan bahwa semua staf MNA menginginkan tipe pesawat 737-400.

Hal itu dia sampaikan dalam keterangannya sebagai saksi terdakwa di gedung sidang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada kasus dugaan sewa pesawat fiktif senilai US$ 1 juta atau sekitar Rp 9 miliar. Hotasi menjawab pertanyaan jaksa tentang siapa yang memiliki ide untuk melakukan sewa operasi atas pesawat 737-500 dan 737-400. Hotasi tegaskan, semua menginginkannya.

"Seluruh pegawai Merpati dan perusahaan, pilot, tenaga pemasaran, bagian keuangan, pingin tipe pesawat yang lebih menjual, hemat bahan bakar dan lain-lain. Bahkan semua maskapai menginginkan tipe ini," jelas Hotasi di Tipikor, Jakarta, Senin (10/12).

Sejak dirinya dilantik pada 2002, pihak Merpati memang sudah lama menginginkan pesawat itu.
"Sejak saya dilantik pada 2002, kami selalu ingin tipe klasik itu. Direksi, general manager, pilot, ingin pesawat itu," demikian Hotasi.

Kasus ini bermula saat PT Merpati Nusantara (MNA) di bawah Hotasi dan Tony Sudjiarto mengadakan perjanjian dengan perusahaan penyewaan pesawat dari perusahaan yang berkantor di Washington DC, Amerika Serikat yaitu Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG), untuk menyediakan dua pesawat Boeing 737-400 dan 737-500, pada 2006 .

Transaksi terjadi ketika Merpati mentransfer US$1 juta ke rekening perusahaan tersebut tanpa ada penandatangangan perjanjian sebelumnya antara TALG dan perusahaan pemilik pesawat, East Dover Ltd. Tapi, TALG melakukan wanprestasi (pengingkaran perjanjian) terhadap uang tersebut.
PT MNA berupaya untuk mengembalikan uang melalui pengadilan di Washington DC.

Dikutip dari Rmol.co

Tindak Lanjut Permohonan Merpati Terkait Proses Hukum di Amerika Serikat



Perkembangan terkini kasus pengusutan dana yang diambil Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG), Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat Dino Patti Djalal meminta Rudy Setyo Pumomo, Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines (MNA), menyiapkan semua dokumen yang diperlukan untuk meneruskan kasus ini. Berpijak dari hasil diskusi awal yang dilakukan dengan pihak Department of Justice, KBRI memperoleh informasi bahwa pada prinsipnya pihak Department of Justice bersedia untuk bekerja sama dengan pihak Pemerintah RI di dalam menindaklanjuti kasus tersebut, khususnya terkait dengan kemungkinan proses pidana. Selanjutnya, proses eksekusi Putusan District Court of Columbia sebagaimana diketahui adalah proses perdata yang telah dimulai oleh MNA melalui jasa pengacara di AS.

Dengan demikian, dana yang dikemplang TALG bisa diambil kembali oleh Merpati. Maka dari itulah di dalam laporan Merpati, dana yang masih berada di tangan TALG sebesar US$ 1 juta (dikurangi yang telah dikembalikan U$ 4.800) itu masuk dalam piutang, bukan kerugian perusahaan.

Tanya Jawab Hotasi Nababan dan Lawrence Siburian di Sidang Kasus Penyewaan Pesawat Merpati



Dalam sidang kasus penyewaan pesawat oleh PT Merpati Nusantara Airlines, Hotasi Nababan menanyakan duduk perkara kasus ini kepada penasihat hukum Merpati di Amerika Serikat, Lawrence Siburian. Lawrence menegaskan perkara ini masuk ranah perdata karena merupakan kasus wanprestasi yang dilakukan Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG) di Amerika Serikat kepada Merpati.

Lawrence juga menyatakan pemerintah Amerika Serikat sangat serius menyikapi kasus ini dengan menghukum TALG bersalah dan meminta mengembalikan uang Merpati. Tapi hingga saat ini TALG baru mengembalikan US$ 4.800 dari US$ 1 juta uang Merpati.

Kini, direksi Merpati saat inilah yang berwenang mengurus pengembalian yang diambil TALG. Jika Merpati merasa kesulitan dana untuk membiayai pengacara di AS untuk mengurus kasus ini, Lawrence mengatakan ada banyak cara untuk menyiasatinya. 

Sofyan Djalil: Hotasi Tak Bersalah dalam Kasus Penyewaan Pesawat oleh Merpati


Hotasi Nababan dianggap tak bersalah dalam kasus gagalnya sewa pesawat. Pernyataan tersebut diungkap mantan Menteri BUMN Sofyan Djalil saat menjadi saksi ahli terhadap mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (5/11).

Dalam persidangan tersebut, majelis hakim menghadirkan tiga saksi ahli. Di antaranya Sutacana sebagai ahli hukum internasional, Sofyan Djalil, dan Josef Suhardi. Ketiganya menjelaskan teknis kontrak internasional yang dilakukan Merpati dengan Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG) terkait penyewaan dua unit pesawat boeing 737 seharga satu juta dollar AS pada 2006 lalu.

Sofyan menambahkan, keputusan yang diambil Hotasi sepenuhnya adalah risiko yang harus diambil perusahaan, dan tidak seharusnya dikenakan sanksi pidana. (Dikutip dari Metrotvnews.com, 5 November 2012)

Meski Krisis, Merpati Terus Berupaya Sewa Pesawat untuk Selamatkan Perusahaan dan Karyawan


Dalam sidang pada 3 Desember di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta, saksi General Manager Pengadaan Pesawat PT Merpati Nusantara Airlines Tony Sudjiarto, mengungkapkan waktu itu Merpati sangat sulit untuk mendapatkan kepercayaan menyewa pesawat. Perusahaan penyedia pesawat ingin Merpati membayar dana secara tunai terlebih dahulu di muka, setelah itu pesawat baru bisa dikirim. Bahkan, beberapa kali, pesawat yang disewa Merpati ternyata tidak jadi dikirim. Perusahaan penyedia sewa pesawat wanprestasi. Tapi mereka mau mengembalikan uang sewa yang telah dikirim Merpati.

Berikut ini berbagai link artikel dari berbagai media massa yang menyebutkan bahwa Merpati telah bersusah payah mencari pesawat, meski dalam keadaan krisis. Inti dari usaha pengadaan pesawat ini adalah untuk menyelamatkan keuangan Merpati dan menyelamatkan karyawan dari PHK.

Berusaha Cari Pesawat untuk Tingkatkan Keuangan Merpati dan Selamatkan Karyawan Malah Dijadikan Terdakwa


Mantan General Manager Pengadaan Pesawat Merpati Tony Sudjiarto

Pada 3 Desember 2012 lalu, sidang kasus penyewaan pesawat oleh PT Merpati Nusantara Airlines kembali digelar. Agenda sidang kali ini mendengarkan saksi General Manager Pengadaan Pesawat Merpati, Tony Sudjiarto.

Dalam sidang ini, Tony ditanya seputar pengalamannya menyewa pesawat untuk Merpati. Ia sudah bekerja di maskapai BUMN itu selama 32 tahun. Selama itu, Tony telah sukses melakukan penyewaan pesawat lebih dari 50 unit untuk Merpati.

Dalam melakukan penyewaan pesawat, Tony sudah meminta persetujuan direksi dan para pemegang saham. Tony juga sudah melakukan berbagai prosedur dalam penyewaan pesawat yang lazim dilakukan berbagai maskapai penerbangan.  Bahkan, Tony sudah melakukan survei dan melakukan pengecekan fisik pesawat.

Dalam sidang, Tony juga mengungkapkan, selaku Direktur Utama Merpati, Hotasi Nababan tidak pernah memintanya menyewa pesawat dari perusahaan tertentu atau dengan tipe tertentu. Semuanya diserahkan kepada Tony selaku General Manager Pengadaan Pesawat Merpati.

Hingga saat memutuskan bekerja sama dengan Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG) pun, segala prosedur keamanan pengiriman uang telah dilakukan dengan benar. Namun ternyata TALG wanprestasi sehingga tidak mengirimkan pesawat yang telah disewa oleh Merpati.

Hal ini merupakan risiko bisnis di tengah sulitnya Merpati dalam mencari pesawat untuk meningkatkan pemasukan keuangan perusahaan sekaligus menyelamatkan karyawan dari pemutusan hubungan kerja.

Bukti Hukum: Penyewaan Pesawat Telah Disepakati Secara Kolektif, Bukan Pribadi


Mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) Hotasi Nababan memberikan bukti-bukti hukum yang mematahkan tuntutan jaksa penuntut umum di persidangan yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (9/8).

Dalam persidangan yang menghadirkan keterangan saksi itu, Hotasi menyerahkan bukti berupa ringkasan hasil inspeksi pesawat Boeing 737-500 yang menunjukkan pesawat nyata ada, dan sudah diperiksa oleh MNA jauh hari sebelum penandatanganan perjanjian.

Bukti lainnya, keputusan penempatan deposit kewenangan direksi secara kolektif, bukan pribadi, dalam pernyataan tertulis, yang disusun oleh direksi.

Hotasi menilai, pihak TALG sebagai pihak penyedia pesawat yang tidak menempati janjinya, usai uang sebesar US$1 juta diberikan oleh pihak MNA.

Sedangkan Pengadilan Distrik Kolumbia, Washington DC, sudah mengabulkan gugatan MNA terhadap TALG, yang ingkar janji dalam pengadaan pesawat Boeing 737-500 untuk MNA itu.(Metrotvnews.com, 10 Agustus 2012)

Merpati Menang di Pengadilan AS dan TLAG Diminta Kembalikan Uang



Kasus penyewaan pesawat yang dilakukan PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) masih terus bergulir di Pengadilan Amerika Serikat (AS). Kasus itu pun mendapat perhatian serius dari FBI. Hal tersebut terungkap saat mantan Direktur Perdata Jamdatun Kejaksaan Agung, Yoseph Suardi, menjadi saksi pada persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (26/11). Yoseph mengaku pernah mendapatkan surat kuasa dari Kejagung untuk mewakili MNA menggugat Chieft Operation Officer (COO) Thirdstone Aircraft Leasing Group (TLAG), Jon C Cooper. Tujuannya untuk meminta pertanggungjawaban uang MNA dalam bentuk security deposit sebesar US$ 1 juta yang diambil Cooper.

Selain itu, dia mengaku pernah mendapat telepon dari KBRI di AS yang menyatakan ada agen FBI yang ingin mengetahui kasus Merpati tersebut. Setelah gagal dalam proses penyewaan pesawat, TLAG digugat oleh Merpati untuk mengembalikan security deposit sebesar US$ 1 juta. Pengadilan AS kemudian memenangkan Merpati. (Dicuplik dari Suara Pembaruan, 27 November 2012)

Said Didu Yakin Hotasi Tak Bermain dalam Kasus Penyewaan Pesawat



Mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu menjadi saksi meringankan (a de charged) pada persidangan di Pengadilan Tipikor, Senin (19/11). Dia menegaskan kondisi MNA pada 2006, saat Hotasi Nababan memutuskan penyewaan pesawat, memang sangat sulit. Menurut dia, keputusan Hotasi dan direksi MNA lainnya untuk menyewa pesawat merupakan satu-satunya pilihan yang diambil. “Keputusan itu, menurut saya, merupakan tindakan tanggap darurat untuk menyelamatkan Merpati yang sudah berdarah-darah,” katanya.

Dia yakin tak ada maksud Hotasi bermain dalam penyewaan pesawat itu. “Bodoh sekali kalau mau bermain dalam kasus ini. Kalau ini ada permainan, tidak mungkin Direksi Merpati mau ke sana (AS) menuntut uang kembali. Kalau memang bermain, buat apa minta Kejagung sebagai pengacara negara untuk mengejar uangnya,” sambungnya. Bahkan, Said menyebut security deposit yang ditilap TALG itu hingga 2011 lalu masih tercatat sebagai piutang MNA. “Itu jadi tagihan Merpati,” tegasnya. (Dikutip dari Suara Pembaruan, 20 November 2012)

Pakar Hukum: Kasus Pengadaan Pesawat Merpati Tak Perlu Bergulir ke Pengadilan Tipikor



Pakar hukum pidana Eddy OS Hiariej menilai kasus dugaan korupsi pengadaan pesawat Merpati Nusantara Airlines (MNA) sebenarnya tak perlu bergulir ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Karena, dalam kacamatanya, tidak ada kesengajaan dan niat jahat yang dilakukan direksi MNA di bawah Hotasi Nababan hingga pesawat yang disewa tak dikirim oleh penyedia pesawat. Menurut Eddy, jika benar Hotasi selaku Dirut MNA tidak berhati-hati dalam memutuskan penyewaan pesawat dan pembayaran security deposit, maka hal itu tidak serta merta dapat dikatakan perbuatan melawan hukum. “Selama tidak ada niat jahat, maka tidak bisa dipidana,” kata Eddy saat menjadi ahli pada persidangan dugaan korupsi pengadaan pesawat Merpati di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (12/11).

Terlebih lagi, Hotasi saat memimpin MNA juga sudah mengupayakan pengembalian security deposit US$ 1 juta yang dibayarkan ke Hume Aircraft Leasing Group (TALG) selaku penyewa pesawat. (Dikutip dari Suara Pembaruan, 13 November 2012)

Erman Rajagukguk: Perbuatan Tidak Mengirim Pesawat Itu Tak Ada Hubungannya dengan Direksi



Perkara dugaan korupsi penyewaan pesawat jenis Boeing 737 oleh Merpati Nusantara Airlines (MNA) pada 2006 yang kini bergulir di Pengadilan Tipikor dinilai bukan ranah korupsi. Ahli hukum Prof Erman Rajagukguk menilai kasus MNA merupakan perkara perdata, karena yang terjadi adalah adanya pihak penyelenggara pesawat yang ingkar janji (wanprestasi). Hal itu disampaikan Erman saat dihadirkan sebagai saksi ahli pada persidangan perkara dugaan korupsi penyewaan pesawat MNA di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (29/10). Guru besar ilmu hukum Universitas Indonesia itu menyatakan, direksi MNA tidak bisa disalahkan karena penyewaan pesawat, yakni Thrisdstone Aircraft Leasing Group (TLAG), melakukan wanprestasi.

“Karena yang wanprestasi pihak yang punya pesawat, perbuatan tidak mengirim pesawat itu tidak ada hubungannya dengan direksi,” ucap Erman di hadapan majelis hakim yang diketuai Pangeran Napitupulu. Mengenai kewenangan direksi Merpati di bawah Direktur Utama Hotasi Nababan, yang mengubah tipe pesawat yang hendak disewa, menurut Erman, hal itu tidak menyalahi aturan karena ada dalam Rencana Kerja Anggaran (RKA) PT MNA yang telah disetujui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). (Dikutip dari Suara Pembaruan, 30 Oktober 2012)

Pengadaan Dua Pesawat oleh Merpati pada 2006 Telah Disetujui Seluruh Direksi


Mantan Direktur Niaga PT Merpati Nusantara Airlines (MNA), Nursatyo, dihadirkan pada persidangan perkara korupsi pengadaan pesawat yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (8/10). Dia mengungkapkan, pengadaan dua unit Being jenis 737-400 dan 737-500 pada 2006 sudah disetujui seluruh direksi dan dilakukan secara korporasi. Menurutnya, pada 2006, MNA hanya memiliki 25 pesawat. Jumlah itu tak sebanding dengan pegawai MNA yang lebih dari 3.000 karyawan.

“Posisi pesawat kami 25 (unit). Harusnya kami maksimum 1.500 pegawai. Kami cari jalan keluar bagaimana agar RKA (Rencana Kerja Anggaran) perusahaan tidak bolong. Jalan keluarnya, pegawai di-cut (dikurangi) atau menambah produksi. Kami pilih menambah produksi,” katanya. Selanjutnya, direksi MNA pada 2006 memutuskan untuk mengadakan dua unit pesawat. Dana untuk pengadaan pesawat pun disetujui oleh seluruh direksi. (Dikutip dari Suara Pembaruan, 9 Oktober 2012)

Komisaris Utama PT Merpati: Direksi Punya Kewenangan yang Fleksibel Sewa Pesawat


Mantan Komisaris Utama PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) Gunawan Koswara mengungkapkan bahwa dua unit pesawat Boeing jenis 737-400 dan 737-500 yang disewa MNA pada 2006 memang tidak masuk dalam rencana kerja perusahaan (RKA) MNA. Namun, menurutnya, direksi MNA diberi kewenangan untuk bertindak secara fleksibel dalam pengadaan pesawat, terutama dalam menghadapi krisis.

“Dalam RKA (PT MNA) tahun 2006 memang tidak dicantumkan tentang tipe pesawat Boeing itu, tapi direksi diizinkan mengubah tipe,” kata Gunawan saat menjadi saksi pada persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (27/9). Dijelaskan, MNA pada 2006 mengalami krisis.

Akibat kesulitan likuiditas, maka pemegang saham dan komisaris MNA sepakat untuk menunda RKA. Penyusunan RKA MNA tahun 2006 pun molor dan baru bisa disahkan pada 11 Oktober 2006. Mengenai dua Boeing 737 yang disewa dari Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG) namun pesawatnya ternyata tak ada, Gunawan mengaku pesawat tersebut memang tidak dikirim oleh pihak TALG. Karenanya MNA memutuskan untuk menyomasi TALG. Karena somasi tidak diindahkan, lanjut Gunawan, MNA pun menggugat pihak TALG ke pengadilan di Washington DC. Putusannya pun memenangkan gugatan MNA. (Dikutip dari Suara Pembaruan, 28 September 2012)

Merpati Terus Berupaya dengan Berbagi Cara untuk Menagih Uang US$ 1 Juta yang Diambil TALG


Merpati Nusantara Airlines (MNA) tak mau uang sewa pesawat sebesar US$ 1 juta yang sudah dibayarkan ke Thirdstone Aircraft Leasing Group (TLAG) di Washington DC pada 2006 lenyap tanpa bekas. Karenanya, MNA terus berupaya mengembalikan uang itu dengan berbagai cara. Hal tersebut diungkapkan mantan manajer kontrak MNA, Ferdinand Kennedy, pada persidangan kasus dugaan korupsi penyewaan pesawat di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (13/9). Dijelaskan, dirinya pertama kali tahun bahwa pesawat yang disewa Merpati dari TALG tak jadi datang pada 5 Januari 2007. Sebab, 5 Januari 2007 itu adalah tanggal pengiriman dua unit pesawat yang disewa MNA, yakni Boeing 737-400 dan 737-500.


“Kami berupaya menanyakan kepada lessor (TALG), kenapa nggak datang. Akhirnya ada surat mereka mau ganti pesawat dengan harga lebih tinggi. Kami jadi tidak percaya dan menolak dengan meminta security deposit dikembalikan,” kata Ferdinand. Ditambahkan, pihaknya telah menempuh berbagai cara untuk menarik uang US$ 1 juta yang sudah dibayarkan ke kantor pengacara Home Associates di AS yang ditunjuk TALG. Namun, menurutnya, uang yang dikembalikan baru US$ 4.783. Hingga akhirnya pada Maret 2007, Merpati mengajukan gugatan di Pengadilan District of Columbia. (Diambil dari Suara Pembaruan, 14 September 2012)

Sofyan Djalil: Kasus Penyewaan Boeing oleh Merpati Bukan Tindak Pidana


Mantan Menteri BUMN Sofyan Djalil mengatakan mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines, Hotasi Nababan, tak melakukan tindak pidana. Ia mengatakan itu saat menjadi saksi kasus korupsi Merpati di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (5/11).

Menurut Sofyan, keputusan Hotasi menyewa dua pesawat senilai 2 juta dolar AS merupakan risiko perusahaan. Sehingga, keputusan itu tak tergolong sebagai tindak pidana hukum.

Selain Sofyan, sidang pun menghadirkan seorang saksi lain yaitu ahli hukum internasional, Supancana. Kehadiran kedua saksi untuk menjelaskan teknis kontrak internasional PT Merpati dengan Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG) terkait penyewaan dua pesawat Boeing 737 saat Hotasi memimpin perusahaan penerbangan milik BUMN itu. (Diambil dari Metrotvnews.com, 5 November 2012)

Tiga Pakar Hukum Sepakat Masalah Sewa-Menyewa Masuk Hukum Perdata



Dalam sebuah diskusi, tiga pakar hukum berbicara masalah kriminalisasi kebijakan korporasi. Ketiganya adalah pakar hukum korporasi Profesor Dr. Erman Rajagukguk, pakar hukum administrasi negara Profesor Dr. Laica Marzuki, dan Tim Independen Reformasi Birokrasi dan mantan Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas.

ERMAN RAJAGUKGUK

“Yang diatur oleh UU Perseroan Terbatas pada prinsipnya adalah tanggung jawab perdata dan tidak menyangkut tanggung jawab pribadi, tetapi secara bersama-sama, tidak ada pidana.”



LAICA MARZUKI

“Sewa-menyewa pesawat merupakan perbuatan hukum keperdataan. Sepanjang termasuk perbuatan keperdataan, hal itu tidak dapat dikriminalkan.”



ERRY RIYANA HARDJAPAMEKAS

“Kasus Hotasi adalah momentum yang baik untuk kita sama-sama melakukan reformasi penegakan hukum.”




Dalam hal ini, ketiga pakar hukum tersebut sependapat bahwa perbuatan sewa-menyewa masuk dalam ranah hukum keperdataan. Sepanjang masuk dalam hukum perdata, tanggung jawabnya juga harus dilakukan di bidang keperdataan. (Disarikan dari BUMN Track Nomor 61 Tahun VI edisi Agustus 2012 hlm. 30-31)

Sofyan Djalil Mengaku Nelangsa Jika Keputusan Bisnis Bisa Dipidanakan



Menteri Negara BUMN periode 2007-2009 Sofyan Djalil dihadirkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (5/11), sebagai saksi ahli yang meringankan untuk mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara (MNA) Hotasi DP Nababan dan General Manager Pengadaan Pesawat PT MNA Tony Sudjiarto. Sofyan mengatakan, selaku direktur, apa yang dilakukan Hotasi adalah bagian dari risiko bisnis. Ia mengaku nelangsa melihat sebuah keputusan bisnis yang sudah dilakukan dengan prinsip good governance bisa dipidanakan. Staf khusus wakil presiden itu mengatakan, jika Hotasi nanti dihukum bersalah dan dipidana, akan berdampak luar biasa terhadap BUMN. Direksi BUMN akan takut melakukan tindakan dan memilih diam karena takut langkahnya akan dipidanakan.

Kasus ini bermula pada 2006 saat Merpati memutuskan menyewa pesawat Boeing 737-400 dan Boeing 737-500 dari Thirdtone Aircraft Leasing Group (TALG) Washington DC. Merpati harus mentransfer 1 juta dollar AS sebagai deposit ke rekening kantor Hume Associate PC yang bukan merupakan instrumen perbankan yang aman. Namun, setelah membayar 1 juta dollar AS, pesawat tak kunjung dikirim ke Merpati. (Diambil dari Kompas, 2 November 2012)

Fakta Hukum Kasus Merpati: Murni Persoalan Wanprestasi




Dalam kasus penyewaan pesawat Merpati Nusantara Airlines, Hotasi Nababan meminta Kejaksaan Agung tidak mengesampingkan fakta hukum yang terkait dengan perkara ini, terutama putusan pengadilan Distrik Washington DC, Amerika Serikat.

”Pengadilan Distrik Washington menerima gugatan Merpati dan mewajibkan Thirstone Aircraft Leasing Group (TALG) sebagai penyewa pesawat mengembalikan uang milik Merpati. Upaya kami menggugat TALG menunjukkan tidak ada kongkalikong antara Merpati dan TALG. Ini murni persoalan wanprestasi. Bagi Merpati, ini merupakan risiko bisnis,”  kata Hotasi di Jakarta, Kamis (18/8).

Kasus ini bermula saat Merpati berencana menyewa dua pesawat Boeing 737 dari TALG senilai satu juta dollar AS pada 2006. Sesuai perjanjian, dua pesawat seharusnya diserahkan ke Merpati awal 2007. Namun, pesawat tidak diserahkan, sementara uang sewa satu juta dollar AS sudah dibayar Merpati.
Merasa dirugikan, Merpati menggugat TALG di Pengadilan Distrik Washington DC yang kemudian memenangkan Merpati dan mewajibkan TALG mengembalikan uang Merpati sebesar satu juta dollar AS.
Lawrence TP Siburian, penasihat hukum Hotasi, mendesak Kejagung melakukan gelar perkara kasus penyewaan pesawat oleh PT Merpati Nusantara Airlines. Hal itu diperlukan untuk menguji apakah kasus itu masuk ranah perdata atau pidana.

Lawrence menyangkal ada upaya melawan hukum yang dilakukan Hotasi dan jajaran manajemen lainnya. ”Izin pemegang saham baru diperlukan kalau ingin membeli pesawat. Nah, ini kan menyewa,” kata Lawrence. (Dikutip dari Kompas, 20 Agustus 2011)