JADWAL SIDANG KASUS SEWA PESAWAT MERPATI

MA MEMVONIS EMPAT TAHUN DAN DENDA RP 200 JUTA ATAS KASUS MERPATI. KEPUTUSAN YANG SUNGGUH MENGEJUTKAN. PADAHAL SEBELUMNYA PENGADILAN TIPIKOR JAKARTA MEMVONIS BEBAS. HARAPAN ADA DI PENGAJUAN PK. MOHON DUKUNGAN DEMI TEGAKNYA KEADILAN. |

Ketika Hakim Napitupulu Memimpin Sidang...



Pangeran Napitupulu
Jangan main-main. Ini menyangkut nasib dua orang itu, rektor itu yang duduk di situ,” bentak Ketua Majelis Hakim Pangeran Napitupulu kepada Pembantu Dekan I Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta Dedi Purwana, yang didatangkan sebagai saksi pada sidang Kamis (7/3). Salah satu terdakwa dalam sidang itu adalah Pembantu Rektor III UNJ Fakhruddin Arbah.

Fakhruddin bersama Tri Mulyono, dosen Fakultas Teknik UNJ, didakwa dalam perkara dugaan korupsi pengadaan peralatan laboratorium di UNJ. Dedi terkena marah Napitupulu karena dianggap berbelit-belit dan bahkan sempat diancam pidana penjara karena dianggap memberikan keterangan palsu.

Dedi tampak terkejut dengan bentakan dan ancaman itu. Dedi akhirnya memberikan keterangan yang sesuai fakta persidangan sebelumnya. Napitupulu pun melunak. ”Anda ini orang-orang berpendidikan. Kita hargai dosen. Saya tak bisa duduk di sini tanpa dosen,” kata Napitupulu.

Suasana hening. Dedi yang biasa tertawa-tawa akhirnya mengubah cara bicaranya dan mengakui sejumlah transaksi yang sebelumnya tak ia akui. ”Kami tidak marah. Orang Batak memang suaranya begitu. Jangan dibawa hati. Ini pembelajaran,” kata Napitupulu. Dalam sidang itu, Napitupulu juga marah soal dua anggota staf PT Anugerah Nusantara yang selalu menolak datang menjadi saksi. Napitupulu pun memerintahkan kepada penuntut untuk menersangkakan dua anggota staf PT itu. ”Makanya penuntut umum, Gerhana Sianipar itu jadikan tersangka, termasuk Marisi Matondang, cari di mana orangnya. Kalau tidak mau datang, jadikan tersangka. Semuanya harus jelas, tak ada abu-abu,” teriak Napitupulu.

Napitupulu seolah mewakili rasa ketidakadilan terhadap sebuah kasus ketika seseorang tidak dijadikan tersangka, padahal ia diduga kuat terlibat. Perintah yang sama pernah ia teriakkan dalam sidang anggota DPR, Wa Ode Nurhayati. Ia perintahkan Haris Andi Surahman, perantara suap Wa Ode, jadi tersangka.
Di bawah pimpinan majelis hakim Pangeran Napitupulu, emosi dalam sidang-sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta bisa naik turun. Sesekali gergeran penuh tawa, tapi tetap serius. Namun, kadang terdengar gelegar bentakan atau ancaman kepada terdakwa atau saksi yang mencoba berbohong.

Walau terkesan keras, Napitupulu adalah pelindung yang baik terhadap mereka yang terlihat lemah. Ia tak segan-segan m emotong pertanyaan jaksa atau penasihat hukum yang dianggapnya terlalu jauh dari persoalan kasus atau terlalu memojokkan saksi atau terdakwa.

Napitupulu pernah menunjukkan ketidaksukaannya terhadap sidang korupsi biaya penggalian kubur yang hanya melibatkan Kepala Suku Dinas Pe m a kaman Jakarta Utara. Napitupulu juga pernah menyindir jaksa yang menyidangkan terdakwa korupsi dengan nilai suap hanya Rp 5 juta. Padahal, Pengadilan Tipikor Jakarta adalah pengadilan tipikor tersibuk yang per hari bisa menyidangkan hingga 17 kasus.

Dalam sejarah Pengadilan Tipikor Jakarta, Napitupulu adalah ketua majelis hakim yang pertama kali membebaskan terdakwa korupsi, yang mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines, Hotasi Nababan. Namun, bukan kecaman yang ia panen, melainkan acungan jempol karena kasus Hotasi dinilai tak layak masuk ranah korupsi.

Jika ada yang sempat berpikir bahwa hal itu karena sama-sama orang Batak, persepsi itu salah besar karena dalam sidang-sidang Napitupulu sering menyemprot orang-orang Batak yang terlibat korupsi. ”Tak tahu PT Anugerah Nusantara? Milik M Nazaruddin dan Anas Urbaningrum, anak buahnya ada Rosa Manulang, Marisi Matondang, Gerhana Sianipar... semua orang Batak. Waduh...,” ujarnya dalam sidang Fakhruddin Arbah. Pengunjung pun gergeran. (AMIR SODIKIN)

Sumber: Kompas, 9 Maret 2013 Hlm. 4

Untuk Apa Kasasi Lagi?




Pada tanggal 19 Februari 2013 tepat pk 16.21, Majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta di Kuningan membaca putusan vonis bebas atas semua dakwaan jaksa terhadap saya dan Tony Sudjiarto atas perkara sewa pesawat Merpati. Konon putusan ini pertama kali di pengadilan khusus Tipikor Jakarta sejak dibentuk tahun 2004. Tentu kami sangat terkejut dan bersyukur kepada Tuhan YME menyambut putusan Majelis hakim itu, walaupun sejak awal kami dan semua saksi meyakini perkara ini bukan pidana sama sekali.

Seperti diketahui, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut saya dengan hukuman 4 tahun atas dakwaan subsider pasal 3 UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001. Adapun dakwaan primer atas pasal 2 telah digugurkan sendiri oleh JPU. Saya didakwa menyalahgunakan wewenang mengirim deposit sebesar US$ 1 juta untuk sewa 2 pesawat B737 Classic kepada pihak lessor Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG) pada Desember 2006. Karena TALG gagal menyerahkan kedua pesawat dan menolak mengembalikan deposit itu, maka dianggap telah terjadi kerugian negara. Saya juga didakwa melanggar aturan BUMN tentang penyusunan Rencana Kerja Anggaran (RKA) 2006. Kemudian saya didakwa mengetahui sebelumnya bahwa deposit itu akan digunakan untuk uang muka (down payment) pesawat itu ke pihak pemilik Lehman Brothers.

Dari rekaman kami sebelum menerima amar putusan yang resmi, Majelis hakim menguraikan kajian yuridis atas unsur-unsur yang ada di dakwaan primer dan subsider itu terhadap perkara ini. Majelis tidak menemukan bukti sah dan meyakinkan adanya kesengajaan atau niat untuk melakukan perbuatan melawan hukum seperti di pasal 2 UU Tipikor itu. Majelis juga menyimpulkan Direksi Merpati telah mengambil keputusan secara bersama/kolegial sesuai kewenangannya, dengan hati-hati, dan telah mengupayakan memeriksa latar belakang TALG. Majelis juga menerima bukti adanya pasal flexibilitas untuk merubah tipe armada pesawat yang tercantum di RKA seperti yang telah dijelaskan oleh saksi mantan Komisaris dan Pemegang Saham. Selain itu Majelis menilai penempatan deposit untuk mengikat pesawat adalah hal yang lazim di bisnis penerbangan. Dengan demikian unsur ‘perbuatan melawan hukum’ gugur dan dakwaan primer tidak terbukti.

Pada dakwaan subsider di pasal 3, Majelis tidak melihat bukti yang sah dan meyakinkan bahwa kami Direksi Merpati menempatkan deposit itu dengan tujuan “sengaja” untuk menguntungkan orang lain. Menurut Majelis, di setiap perjanjian bisnis masing-masing pihak tentunya bertujuan mencari keuntungan, sehingga dalam perjanjian sewa pesawat ini baik Merpati dan TALG telah menghitung target keuntungan masing-masing. Oleh karena itu maksud unsur “tujuan menguntungkan orang lain” itu tidak bisa diterapkan untuk perjanjian seperti ini. Majelis juga menganggap letter of intent (LOI) yang memuat perjanjian pokok antara Merpati dan TALG adalah sah dan mengikat. Hal ini diperkuat oleh putusan pengadilan di Washington DC yang memenangkan gugatan Merpati atas TALG di 2007.

Di bagian lain, Majelis menjelaskan lingkup “resiko bisnis”, yaitu hal-hal yang di luar kendali dan pengetahuan dari Direksi sebelum pengambilan keputusan, sejauh dapat dibuktikan dengan niat baik dan telah melakukan upaya maksimal untuk mendapat informasi sebanyak mungkin untuk menghindari resiko kerugian. Majelis menyatakan “resiko bisnis” tidak masuk dalam ranah pidana korupsi.Atas telaah yuridis itu, Majelis memutuskan bebas murni (vrijspak) dan memerintahkan JPU untuk mengembalikan seluruh hak kami. Walaupun salah satu hakim anggota menyampaikan dissenting opinion yang tidak berbeda dari dakwaan JPU, tapi putusan akhir tetap, yaitu kami memperoleh kebebasan penuh sebagai warga negara.Setelah putusan itu, kami mendengar di media bahwa Jaksa berniat untuk mengajukan kasasi atas putusan bebas ini. Sebagai seorang awam, niat Jaksa ini sungguh sangat mengherankan. Di berbagai negara, sebuah putusan bebas atas seorang terdakwa di pengadilan pidana adalah final dan tidak bisa naik di-banding, apalagi di-kasasi. Perkara yang sama tidak bisa dibuka lagi, kecuali ada bukti baru yang sangat meyakinkan. Setelah mengumpulkan bahan dan nasehat, perkenankan saya memohon kesediaan Kejaksaan untuk mengurungkan niat itu untuk 3 alasan.

Alasan pertama adalah sebagai penegak hukum, Jaksa justru harus memberi contoh untuk patuh pada perundangan, khususnya UU no.8 /1981 tentang KUHAP. Pasal 244 KUHAP menyatakan: “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas”. Frasa terakhir itu sudah sangat jelas bahwa kasasi tidak berlaku pada “putusan bebas”.

Namun Kejaksaan akan berkeras bahwa kasasi sudah merupakan yurisprudensi selama 30 tahun dan toh pun diterima oleh Mahkamah Agung. Padahal yurisprudensi ini dibuat di saat rezim Orde Baru dimana para hakim masih di bawah kekuasaan eksekutif yaitu Menteri Kehakiman, dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehakiman RI No.M.14-PW.07.03/1983 yang menyatakan, kasasi atas putusan vonis bebas dapat dilakukan sesuai situasi dan kondisi (sikon). Namun kriteria atas sikon itu tidak ada sehingga tidak jelas syaratnya. Rezim waktu itu bebas menentukan ‘kasasi atas vonis bebas’ dari suatu perkara secara sepihak.Hingga hari ini, 15 tahun setelah Reformasi, paradigma Kejaksaan masih di dalam ‘kebiasaan’ rezim Orde Baru itu. Jika tidak kasasi, Kejaksaan kuatir dipertanyakan banyak pihak. Karena pencitraan adalah hal penting, maka sulit bagi Kejaksaan untuk tidak kasasi. Ketidakpastian hukum dari kontradiksi antara yurisprudensi dan perundangan dibiarkan terus. Akibatnya penegak hukum seperti Kejaksaan cenderung menafikkan prinsip ‘civil law’ bangsa ini, bahwa perundangan adalah sumber hukum utama, mendahului yurisprudensi/kebiasaan. Untuk itu, kami mengajak Kejaksaan melihat perkara ini sebagai sebuah peluang sejarah besar untuk swa- koreksi dan menjunjung hukum. Kejaksaan mampu menjelaskan hal ini kepada masyarakat bahwa KUHAP memang tidak membolehkan kasasi kecuali jika ditemukan kejanggalan atau pelanggaran perundangan dalam proses pembuatan putusan.

Alasan kedua adalah Jaksa harus “fair” menerima putusan pengadilan, seperti seorang yang ingin bertanding harus menerima hasil, siap berhasil atau siap gagal. Jaksa lah yang membawa perkara ini ke pengadilan, artinya jaksa percaya atas asas res judicata provaritate habetur yang berarti setiap putusan hakim harus dianggap benar dan harus dihormati. Nilai “satya” dari falsafah Tri Krama Adhyaksa seharusnya dipegang teguh. Jaksa harus jujur dan mengakui hasil pengadilan ini karena Majelis telah memberi kesempatan yang sama kepada semua pihak untuk mengajukan bukti dan analisa setiap minggu selama 8 bulan. Sebagai penuntut umum, Kejaksaan telah mengerahkan seluruh upayanya membuktikan dakwaannya di pengadilan. Tidak tepat adanya ungkapan jaksa “gengsi” jika tidak mengajukan kasasi terhadap vonis bebas, seolah mengakui “kekalahan”. Pengadilan bukan arena menang-kalah, tapi sebuah “sidang Ilahi”. Mengapa kita membiarkan gengsi di atas kebenaran? Di saat penyidikan, jaksa tidak mau menerima semua bukti kami yang meringankan dan selalu menyatakan “silakan ajukan bukti itu di pengadilan, dan apabila Hakim menerima, maka kami akan menerima.” Lalu setelah keputusan vonis bebas, mengapa sekarang Jaksa tidak menerima putusan Hakim?  

Alasan ketiga adalah menyangkut hak azasi saya yang telah dirampas sejak saya ditetapkan sebagai Tersangka secara terburu-buru di Agustus 2011. Putusan bebas murni yang saya peroleh sungguh sebuah tegukan air di tengah padang gurun ketidakpastian hukum di negeri ini. Saya merasakan hilangnya hak-hak dasar saya untuk mobilisasi hidup. Nama baik dan reputasi saya telah dirusak sejak berita penetapan Tersangka dari Kejaksaan. Masyarakat sudah mem-vonis saya bersalah dan dicap sebagai “koruptor”.
Namun kemudian, setelah seluruh proses pengadilan diliput media, maka kepercayaan masyarakat berangsur pulih terhadap saya dan meyimpulkan bahwa perkara ini memang bukan ranah pidana korupsi. Sangat tidak adil, jika kecerobohan oknum Jaksa memaksakan perkara ini ke pengadilan masih diteruskan dengan proses kasasi. Masa depan saya kembali tergantung. Bagi jaksa, ini mungkin menyangkut gengsi dan citra. Polemik teknis legal atas ‘kasasi atas vonis bebas’ ini boleh saja terus berlanjut di masyarakat hukum. Namun bagi saya, seorang manusia biasa hidup di negara hukum, hal ini menyangkut penghidupan dan masa depan anak-anak saya yang masih kecil.

Terakhir, siapa yang bersalah dari perkara Merpati ini? Jawabannya jelas. Kedua warga negara AS pemilik TALG yang telah mengaku mengambil uang deposit Merpati.  Kejaksaan sebaiknya berupaya keras untuk menagih ke AS bekerja sama dengan Interpol, KBRI, dan FBI. Kejaksaan juga harus memantau pengadilan pidana atas Jon Coooper, pemilik TALG, yang sedang berlangsung di Washington DC. Saya bersedia membantu bila diperlukan. Tindakan ini lebih berguna bagi negara dan Merpati, daripada memaksakan noktah hukum demi menyiksa saya.Semoga Kejaksaan terketuk hatinya untuk tidak melanggar KUHAP.Hotasi NababanMantan Dirut MNA 2002-2008
x

Hotasi Nababan Divonis Bebas, Hakim: Hak Terdakwa Harus Dipulihkan

Jakarta - - Eks Dirut PT Merpati Airlines Nusantara Hotasi Nababan divonis bebas oleh Pengadilan Tipikor Jakarta. Hakim meminta agar nama Hotasi bisa segera dipulihkan.

"Harus memulihkan hak terdakwa," kata Ketua Majelis, Pangeran Napitupulu, dalam amar putusan yang dibacakan di Pengadilan Tipikor, Jl HR Rasuna Said, Jaksel, Selasa (19/2/2013).

Dalam pertimbangannya, hakim tidak menemukan satu pun hal yang memberatkan bagi Hotasi. Satu pun pasal yang didakwakan jaksa juga dinilai tidak ada yang terbukti.

"Membebaskan terdakwa dari seluruh dakwaan," tegas Pangeran.

Putusan ini pun disambut gegap gempita oleh keluarga. Mereka saling bersorak sorai. Bahkan tidak sedikit yang menangis akibat putusan hakim.

Hotasi didakwa melakukan korupsi dalam kasus penyewaan dua pesawat Merpati. Ia didakwa telah merugikan negara senilai USD 1 juta.

Sumber: Detik.com

BRTI Bersyukur Kasus Penyewaan Pesawat Merpati Divonis Bebas


Nonot Harsono, anggota BRTI
Nonot Harsono, anggota BRTI























Komite Regulasi Telekomunikasi Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia ( BRTI) menyampaikan apresiasi yang sangat tinggi kepada Majelis Hakim Tipikor Jakarta yang telah dengan berani mengambil keputusan BEBAS kepada mantan Direktur Utama Merpati Hotasi Nababan di tengah euforia pemberantasan korupsi. Rupanya Majelis Hakim amat jeli melihat bahwa tidak setiap dakwaan jaksa selalu bermutu dan akurat.

Semoga Majelis Hakim Tipikor untuk kasus industri telekomunikasi juga berakhir sama dan segera agar tidak banyak kemubaziran dalam proses penegakan hukum. Industri telekomunikasi dan industri apa pun dii negeri ini perlu perlindungan agar bisa berkontribusi lebih baik bagi pembangunan nasional Indonesia. Terima kasih banyak Majelis Hakim Tipikor untuk vonis bebas kasus penyewaan pesawat PT Merpati Nusantara Airlines.

“Kami merasakan ketokan palu keadilan serasa rahmat Tuhan yang menyejukkan hati kami. Semoga keputusan yang amat adil ini langgeng hingga inkrah," ujar Nonot Harsono, anggota BRTI


.

Mantan Dirut Merpati Divonis Bebas Murni


Metrotvnews.com, Jakarta: Mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines Hotasi Nababan divonis bebas di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa (19/2) petang. Hotasi tidak terbukti bersalah dalam dugaan korupsi penyewaan pesawat Boeing pada tahun 2006-2007.

"Boleh dikatakan putusan ini anugerah bagi kami, yakni putusan bebas murni," ucap Kuasa Hukum Hotasi Nababan, Juniver Girsang.

Karena majelis hakim memvonis bebas murni, seharusnya sudah tidak ada lagi tindakan hukum terhadap Hotasi. Hal ini merujuk pada jaksa yang menyatakan hendak pikir-pikir untuk mengajukan banding.

"Seharusnya jika jaksa memahami pasal 224, tidak akan ada lagi tindakan hukum dalam kasus ini," tambahnya.

Sebelumnya, jaksa menyatakan Hotasi bersalah dalam penyewaan pesawat Boeing pada tahun 2006-2007. Jaksa pun mengatakan Hotasi melanggar Pasal 3 UU Pemberantasan Korupsi. Jaksa pun menuntut hukuman empat tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan pada Hotasi.

Namun, Hotasi dan kuasa hukumnya membantah tuduhan itu. Menurut Hotasi, ide penyewaan pesawat tersebut bukan berasal dari dirinya sendiri. Ia menegaskan ide tersebut meluncur dari beberapa komisaris Mentari. Kasus itu, tegasnya, tak menimbulkan kerugian negara karena tak memenuhi unsur pidana.(WIL)

Sumber: MetroTV

Penanganan Kasus Pidana Bisnis Korporasi Masih Dilematis


JAKARTA, KOMPAS.com - Penegakan hukum dalam kasus-kasus yang melibatkan bisnis korporasi dinilai masih dilematis. Dibutuhkan konsensus dari lembaga-lembaga penegak hukum agar tercipta kepastian hukum.

"Ada dualisme pendapat dari badan peradilan tentang risiko bisnis. Sebagian berpendapat bahwa risiko bisnis tidak menjadi domain tindak pidana korupsi sementara sebagian lagi berpendapat risiko bisnis yang diikuti upaya melawan hukum menjadi domain tipikor," kata pengamat hukum pidana Indriyanto Seno Adji menanggapi putusan hakim tipikor yang membebaskan mantan Dirut Merpati Airlines Hotasi Nababan.

Indriyanto mengusulkan, untuk menghilangkan dilema ini maka harus ada kepastian atau konsensus penegak hukum apakah risiko bisnis yang asal muasalnya keperdataan dapat dipidanakan atau tidak. Ini untuk menghindari terjadinya kriminalisasi keperdataan. Di samping itu, menurut Indriyanto, penegak hukum juga harus taat pada prinsip kehati-hatian (investigation prudential) dalam menangani kasus-kasus bisnis korporasi seperti kasus Hotasi Nababan.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Setia Untung Arimuladi mengatakan, terkait putusan bebas Hotasi Nababan, Kejaksaan belum mengambil sikap apakah mengajukan kasasi atau tidak.
Anggota Badan Pekerja ICW Emerson Yuntho menilai ada upaya pemaksaan dalam beberapa kasus yang ditangani oleh kejaksaan. "Bisa jadi kasus itu perdata murni atau korupsi namun proses pembuktiannya tidak betul-betul matang. Kami agak khawatir kejaksaan sekedar mengejar kuantitas tapi melupakan aspek kualitas," kata Emerson.

Saat ini, Kejagung tengah menangani sejumlah kasus korupsi yang terkait bisnis korporasi seperti kasus bioremediasi Chevron dan kasus penyalahgunaan frekuensi oleh Indosat-IM2. Pakar hukum korporasi Erman Rajagukguk dalam sebuah diskusi panel hukum yang digelar kemarin menegaskan, perkara Indosat-IM2 semestinya masuk dalam kerangka aturan pelanggaran administrasi. "Kalau hukum administrasi, bukan pidana larinya. Namun lebih tepat adalah harus membayar denda sesuai kerugian yang ditimbulkan," kata Erman.

Sumber: Kompas.com

Mantan Dirut Merpati Hotasi Nababan Bebas


Liputan6.com, Jakarta : Harapan Hotasi Nababan lepas dari jeratan hukum terkabul. Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyatakan mantan Dirut PT Merpati Nusantara Airlines itu tak terbukti bersalah melakukan korupsi sewa 2 pesawat Boeing 737-400 dan 737-500.

"Menyatakan terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi baik itu dalam dakwaan primer dan subsider," kata Ketua Majelis Hakim Pangeran Napitupulu saat membacakan putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (19/2/2013).

Namun, satu dari tiga hakim menyatakan tidak setuju atas vonis bebas itu. Hakim Hendra Yospin menyatakan Hotasi layak dihukum. 

Dalam pertimbangannya, Majelis menilai penyewaan Boeing 737 seri 400 sudah sesuai tindakan hati-hati. "Tidak terbukti melanggar hukum," jelas hakim.

Hal yang meringankan Hotasi adalah dia berlaku sopan selama persidangan. Selain itu, Hotasi juga selalu koperatif selama sidang. "Terdakwa memiliki tanggungan keluarga," ujar hakim.

Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum menuntut hakim agar menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara kepada Hotasi. Tak hanya itu, Hotasi juga dituntut membayar denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. (Ary)

Sumber: Liputan6.com

ICW: Putusan Bebas Merpati, Penyidikan Kejaksaan Dipertanyakan, Harus Ada Eksaminasi



JAKARTA, KOMPAS.com — Indonesia Corruption Watch (ICW) mempertanyakan proses penyidikan di Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan agung terkait keluarnya putusan bebas untuk mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines (MNA), Hotasi Nababan, dari majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Selasa (19/2/2013). Hotasi diajukan ke persidangan terkait dugaan korupsi penyewaan pesawat Boeing 737-400 dan Boeing 737-500 pada 2006.

"Kejaksaan harus melakukan eksaminasi atas putusan ini," kecam anggota badan pekerja ICW, Emerson F Yuntho, di Jakarta, Selasa (19/2/2013) malam.
 Dia mengatakan, putusan hakim harus disikapi secara realistis. Jika memang putusan diambil dengan pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan, putusan tersebut tetap harus dihormati. Kejaksaan, ujar Emerson, perlu melakukan eksaminasi guna melihat secara komprehensif perkara yang dituduhkan kepada Hotasi masuk ranah pidana atau perdata.
Kejaksaan Agung tidak mau berkomentar banyak atas putusan bebas Hotasi. "Yang jelas, jaksa kan sudah menyatakan pikir-pikir," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Setia Untung Arimuladi, di Jakarta, Selasa (19/2/2013), seusai keluarnya putusan.
Sebelumnya, majelis hakim yang dipimpin Pangeran Nababan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menyatakan Hotasi tidak terbukti melakukan korupsi, baik menurut dakwaan primer maupun subsider. Karena itu, majelis hakim membebaskan Hotasi serta memulihkan hak terdakwa dalam hak kemampuan, kedudukan, harkat, dan martabatnya.

Dalam perkara tersebut, jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Agung menuntut Hotasi dengan empat tahun penjara ditambah denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Hotasi dijerat dengan dakwaan subsider. yaitu Pasal 3 jo Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP tentang perbuatan merugikan keuangan negara.

Dakwaan bermula dari kebijakan Hotasi mendatangkan dua pesawat Boeing 737-400 dan Boeing 737-500 pada Desember 2006 meski tidak tercantum dalam rencana kerja anggaran perusahaan tahunan (RKAT) 2006. Proses sewa juga menyertakan pembayaran security deposit (uang jaminan) sebesar satu juta dollar AS sebagai jaminan pembelian pesawat kepada perusahaan penyewaan pesawat Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG). Pembayaran uang jaminan dilakukan melalui transfer langsung ke rekening kantor pengacara Hume and Associaties PC pada Bank Mandiri.
Menurut majelis hakim, tindakan Hotasi membayar uang jaminan bukanlah pelanggaran hukum. "Perbuatan Hotasi yang membayar sewa pesawat Boeing 737-400 dan 737-500 dan membayarsecurity deposit sudah dilakukan dengan hati-hati, dengan iktikad baik, sesuai kondisi perusahaan, dan dengan informasi yang dinilai cukup sehingga unsur melanggar good governance tidak terbukti dan tidak melanggar hukum," tambah hakim. (B Kunto Wibisono)

Sumber: Kompas.com

KY Nilai Tak Ada yang Janggal di Putusan Bebas Hotasi


Jakarta - Komisi Yudisial (KY) menilai tidak ada yang janggal dalam putusan bebas mantan Dirut PT Merpati Nusantara Airlines, Hotasi Nababan. KY menyerukan supaya hakim tidak takut memutus bebas sepanjang benar-benar terbukti tidak melakukan tindak pidana korupsi.

"KY memberikan apresiasi kepada hakim Tipikor yang membebaskan dengan pertimbangan hukum yang jernih. Jadi hakim tak perlu takut membebaskan terdakwa jika memang dakwaan jaksa tak terbukti di persidangan," ucap Wakil Ketua KY, Imam Anshori Saleh kepada wartawan, Selasa (19/2/2013).

Lembaga negara bentukan UUD 1945 ini menilai jalannya sidang Hotasi berjalan fair. Tidak tercium aroma tak sedap dibalik vonis tersebut.

"Selama ini ada persepsi yang salah, hakim takut membebaskan terdakwa karena khawatir diperiksa KY. Itu tidak benar, apapun putusannya KY tak akan persoalkan dan menghormati putusan tersebut," tegas Imam.

"Baru kalau ada indikasi pelanggaran etika yang dilakukan hakim akan didalami oleh KY," sambung Imam.

Beda dengan KY, LSM ICW malah berpikir sebaliknya. ICW malah mengaku kaget dengan keputusan tersebut.

"Pertama kita sempat kaget, karena ini merupakan vonis bebas pertama di Pengadilan Tipikor pusat. Namun, ICW akan mempelajari detail putusan tersebut, seperti hal-hal yang berkaitan dengan semua aspek terhadap putusan itu," ujar aktivis (ICW) Donal Fariz.

Akan tetapi, ICW sendiri juga akan berusaha menelusuri kelemahan dari putusan tersebut. Walaupun Donal tidak menjelaskan secara rinci maksud dari kelemahan tersebut.

"Selain itu kita juga akan mencari kelemahan dari putusan ini, seperti apakah ada kelemahan yang berasal dari jaksa, maupun hakim," ujarnya.

Sumber: Detik.com

Putus Bebas Hotasi, KY: Hakim Tak Perlu Takut


Liputan6.com, Jakarta : Hotasi Nababan mencetak sejarah baru bagi Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines itu lepas dari segala tuduhan korupsi pada kasus penyewaan pesawat Boeing 737-400 dan 737-500.
Terkait hal itu, Komisi Yudisial (KY) angkat bicara. Lembaga pengawas hakim itu menilai, majelis hakim PN Tipikor telah memutus bebas Hotasi dengan pertimbangan hukum yang jernih.
"Jadi hakim tak perlu takut membebaskan terdakwa jika memang dakwaan jaksa tak terbukti di persidangan," kata Wakil Ketua KY, Imam Anshori Saleh saat berbincang dengan Liputan6.com, Rabu (20/2/2013).
KY, kata Imam, tak akan mempersoalkan majelis hakim yang telah membuat putusan bebas bagi seorang terdakwa. Dengan catatan, selama proses persidangan berlangsung tidak ditemukan adanya 'aroma tak sedap', terutama dalam putusannya.
"Selama di sekitar jatuhnya putusan tidak ada indikasi pelanggaran kode etik, tidak masalah," ujar Imam.
Menurutnya, selama ini terdapat persepsi yang salah di mana para hakim selalu khawatir diperiksa KY. Sehingga mereka terkesan takut mengeluarkan putusan bebas bagi terdakwa.
"Itu tidak benar, apapun putusannya, KY tak akan mempersoalkannya dan tetap akan menghormati putusan mereka tersebut. Sekali lagi, dengan catatan tidak ada aroma tak sedap dalam putusannya," jelas Imam.
Namun, lanjutnya, jika memang selama proses persidangan atau dalam mengeluarkan putusannya ditemukan adanya indikasi pelanggaran kode etik hakim, KY baru akan bergerak. "Baru kalau ada indikasi pelanggaran etika yang dilakukan hakim, akan didalami oleh KY," ucapnya.
Sebelumnya, Majelis Hakim yang diketuai Pangeran Napitupulu dengan anggota Hendra Yospin dan Alexander Marwata memvonis bebas Hotasi dalam kasus sewa pesawat Boeing 737-400 dan 737-500.
"Menyatakan terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi baik itu dalam dakwaan primer dan subsider," kata Ketua Majelis Hakim Pangeran Napitupulu d Pengadilan Negeri Tipikor, Jakarta, Selasa 19 Februari.
Meski demikian, putusan ini tak bulat. Hakim anggota, Hendra Yospin, menyatakan tidak setuju atas vonis bebas itu. Hakim Hendra Yospin menyatakan Hotasi layak dihukum.
Putusan ini jauh dari harapan jaksa yang telah meminta Hakim agar menjatuhkan vonis 4 tahun penjara kepada Hotasi. Tak hanya itu, Hotasi juga dituntut membayar denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Hotasi sendiri menyatakan, vonis bebas ini adalah kuasa Tuhan. Dia pun mengucapkan terima kasih kepada keluarga, kerabat, dan teman-teman yang sudah mendukungnya.
"Saya senang dengan keputusan ini, begitu juga keluarga, kerabat dan teman-teman saya," ungkap Hotasi usai mendengarkan pembacaan putusan. (Mut)

Sumber: Liputan6.com

Kasus Hotasi, ICW: Tidak Semua Kasus di Tipikor Harus Divonis Bersalah


Metrotvnews.com, Jakarta: Indonesia Corruption Watch menghormati vonis bebas atas mantan Dirut PT Merpati Nusantara Airlines Hotasi Nababan, di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Kasus tersebut semakin membuka kualitas Kejaksaan Agung dalam melimpahkan kasus ke pengadilan Tipikor.
Bahkan, ICW juga menilai kasus yang disangkakan kepada Hotasi cenderung janggal dan tidak kuat. 
"Memang ini janggal. Kasusnya lebih dekat ke arah perdata daripada pidana (korupsi)," tukas Koordinator ICW Emerson Yuntho, Jakarta, Rabu (20/2).
Oleh karena itu, kata Emerson, kejaksaan harus segera mengesaminasi putusan tersebut untuk mengetahui kesalahan dalam penuntutan ataupun dalam penyidikan yang dilakukan sebelumnya. 
"Kejaksaan harus eksaminasi. Dari situ kelihatan apakah kasus ini pidana atau perdata atau memang putusan bebas karena tidak kuat buktinya," katanya.
Emerson tidak memungkiri ada kesan kasus Hotasi dipaksakan oleh kejaksaan. "Memang ada kesan dipaksakan oleh kejaksaan," tukasnya.
Vonis bebas murni terhadap Hotasi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (19/2), telah mematahkan isu bahwa semua kasus yang masuk pasti divonis bersalah.
"Jadi putusan bebas ini sepanjang bisa dipertanggungjawabkan harus tetap dihormati. Agak naif juga kalau semua yang masuk (pengadilan) Tipikor harus bersalah," kata Emerson.
ICW mencatat, dari seluruh peradilan di pengadilan Tipikor yang tersebar, ada sekitar 71 kasus yang mendapatkan vonis bebas. "Dan mayoritas itu kasus limpahan dari kejaksaan," tukas Emerson.
Emerson mengatakan, Kejaksaan perlu mendorong dan menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi dengan benar dan bertanggung jawab. 
"Ada persoalan kualitas di kejaksaan. Ada kekeliruan di kejaksaan soal pemberantasan korupsi. Mereka mengejar kuantitas tapi melupakan kualitas," tukasnya.
Kejaksaan, lanjutnya, harus memiliki mekanisme yang lebih ketat dalam menyelidiki dan menyidik kasus korupsi. 
"Kalau kasus yang dilimpahkan KPK, mereka memang punya mekanisme yang ketat. Dan mereka (KPK) maju ke Tipikor dengan bukti-bukti yang kuat. Makanya peluang kasus KPK divonis bersalah oleh Tipikor lebih besar," kata Emerson. (Donny Andhika AM/Adf)
Sumber: MetroNews.com

Putusan Bebas Eks Bos Merpati Dinilai Wajar


TEMPO.CO Jakarta - Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch, Emerson Yuntho menilai putusan bebas terhadap mantan direktur utama Merpati, Hotasi Nababanbukanlah preseden buruk bagi pengadilan tindak pidana korupsi. “Menurut saya publik harus realistis juga, kalau memang orang tak bersalah ya layak bebas,” kata Emerson saat dihubungi, Selasa, 19 Februari 2013. 

Menurut Emerson, pengadilan tindak pidana korupsi tak harus dipersepsikan sebagai pengadilan yang harus memutus orang bersalah dan bicara soal hukuman. Sama dengan pengadilan lain, hakim di Pengadilan Tipikor akan memberi putusan berdasarkan berbagai pertimbangan. Meski begitu, Emerson mengakui putusan bebas Hotasi merupakan kali pertama terjadi di pengadilan tipikor. 

Emerson mengatakan publik harus jernih melihat penyebab munculnya putusan bebas terhadap Hotasi. Dia meminta Kejaksaan segera mengevaluasi penyebab keluarnya vonis bebas itu. Apalagi sebelumnya sudah kuat indikasi kasus Hotasi seharusnya dituntut perdata bukan menggunakan pidana korupsi. 

Sidang Hotasi di pengadilan Tipikor sore ini memutuskan Hotasi bebas. Mejelis hakim menyebutkan Hotasi tak terbukti bersalah melakukan korupsi sewa 2 pesawat Boeing 737-400 dan 737-500. “Terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi baik itu dalam dakwaan primer dan subsider," kata Ketua Majelis Hakim Pangeran Napitupulu saat membacakan putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta. 

Hotasi Nababan diseret ke pengadilan karena dianggap terlibat kasus korupsi penyewaan dua pesawat Boeing pada 2006. Hotasi didakwa memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara dalam kasus penyewaan dua unit pesawat Boeing. Perbuatan itu dilakukan Hotasi bersama Tony Sudjiarto, bekas General Manager Aircraft Procurement Division Merpati.

Sebelumnya, jaksa menuntut Hotasi dengan 4 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Jaksa menilai Hotasi terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sumber: Tempo.co

Hikmahanto: Sudah Sepantasnya Pak Hotasi Bebas dari Awal


Jakarta - - Palu keras majelis hakim tindak pidana korupsi diketok dan mantan Dirut PT Merpati Nusantara Airlines, Hotasi Nababan, pun bebas. Putusan ini dinilai langkah progresif dan sesuai nafas keadilan hukum yang seharusnya.

"Tidak ada bukti yang mengarah Pak Hotasi melakukan 'kerugian negara' untuk kepentingan dirinya atau kepentingan orang lain atau korporasi," kata guru besar FH UI Hikmahanto Juwana kepada detikcom, Selasa (19/2/2013).

Menurut pakar hukum perjanjian internasional dan hukum internasional ini, apa yang dilakukan Hotasi adalah risiko bisnis selaku pelaku usaha. Merpati sebagai BUMN harus siap rugi dan untung.

"Harus dilihat kerugian negara itu disebabkan oleh apa. Apakah masalah administratif, perdata atau pidana. Kalau administratif kenakan sanksi administratif seperti dimutasi dan lain-lain. Kalau perdata ya harus digugat pihak yang merugikan keuangan negara. Sementara kalau ada unsur pidananya yaitu untuk memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi ya dituntut secara pidana," ujar Hikmahanto.

"Apalagi di BUMN sebagai perusahaan yang bisa rugi bisa juga untung," sambung Hikmahanto.

Bahkan mantan Dekan FH UI ini memberikan apresiasi yang tinggi atas putusan ini. Sebab majelis hakim menilai kerugian negara yang tidak dilakukan dengan sengaja maka bukan tindak pidana.

"Jangan sampai ada orang harus mendekam di lembaga pemasyarakatan atas perbuatan yang bukan kejahatan. Sudah sepantasnya Pak Hotasi mendapatkan kebebasan dari awal," cetus Hikmahanto.

Sebelumnya, jaksa pada Kejaksaan Agung menuntut Hotasi Nababan 4 tahun penjara dan denda Rp 500 juta karena dianggap menyalahgunakan wewenang terkait sewa pesawat. Jaksa berkesimpulan Hotasi terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor.

Dia dianggap menyalahgunakan kewenangannya dalam sewa pesawat Boeing 737-400 dan Boeing 737-500 yang menguntungkan orang lain sehingga merugikan keuangan negara USD 1 juta.

Sumber: Detik.com

Hotasi Nababan Divonis Bebas Murni dalam Kasus Dugaan Korupsi Sewa Pesawat


JAKARTA —Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menyatakan mantan Dirut PT Merpati Nusantara Airlines Hotasi Nababan tidak terbukti melawan hukum dalam sewa pesawat, karena tuntutan primer dan sekunder tidak terbukti, sehingga terdakwa harus dibebaskan.

Ketua Majelis Hakim Pangeran Napitupulu mengatakan tuntutan primer yaitu pasal 2 (1) UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak terbukti, sehingga tuntutan primer tersebut batal.

Kemudian, tuntutan subsider yaitu pasal 18 UU No. 31/1999, katanya, juga tidak terbukti jika Hotasi telah memperkaya diri sendiri, orang lain, dan korporasi, sehingga tuntutan subsider itu juga batal.

“Dengan tidak terbuktinya tuntutan primer dan sekunder, maka terdakwa [Hotasi Nababan] harus dibebaskan,” ujarnya saat membacakan vonis terhadap Hotasi Nababan, Selasa (19/2/2013).

Pasal 2 (1) UU No. 31/1999 yaitu tentang perbuatan melawan hukum, sedangkan pasal 18 UU No. 31/1999 yaitu tentang perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, dan korporasi. Kedua tuntutan itu tidak terbukti, sehingga Majelis Hakim meminta agar terdakwa dibebaskan.

Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat menuntut Hotasi dengan pidana 4 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsidair kurungan 6 bulan.

Jaksa menuntut Hotasi dengan pasal 2 (1) dan pasal 18 UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

“Menimbang unsur memperkaya diri sendiri atau TALG [Thirdstone Aircraft Leasing Group] tidak terbukti,” ujarnya.

Majelis Hakim menyatakan tidak ada niat dari terdakwa untuk memperkaya TALG dengan pembayaran security deposit US$1 juta, sehingga unsur menguntungkan diri sendiri tidak terbukti secara hukum.
Dengan tidak terbuktinya tuntutan primer dan sekunder, katanya, maka terdakwa Hotasi Nababan harus dibebaskan. “Menimbang, karena terdakwa tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana, maka majelis hakim sependapat dengan pembelaan terdakwa dan penasihat hukum terdakwa, perbuatan terdakwa menyewa pesawat dan pembayaran security deposit sudah transparan, hati-hati, beritikad baik, dan tidak ada konflik kepentingan dengan TALG,” ujarnya.

Sumber: Solopos.com

Hakim Tipikor Vonis Bebas Hotasi Nababan

INILAH.COM, Jakarta - Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta membebaskan Mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines Hotasi DP Nababan. Majelis Hakim yang diketuai oleh Pangeran Napitupulu menyatakan Hotasi tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi pada dakwaan primer dan subsider.

Jaksa Penuntut Umum sebelumnya menuntut Hotasi empat tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan.

Menurut majelis hakim, Hotasi tidak terbukti menguntungkan diri sendiri atau menguntungkan Thirdtone Aircraft Leasing Group (TALG) dalam penyewaan dua jenis pesawat Boeing tersebut.

Kendati hingga kini dua pesawat itu belum diterima PT MNA. Hotasi telah sesuai prosedur dalam menyewa dan membayarkan security deposit US$1 juta kepada TALG melalui kantor pengacara Hume & Associate.

"Perbuatan terdakwa menyewa dan membayarkan security deposite sudah dilakukan dengan transparan, hati-hati, beritikad baik, tidak ada konflik kepentingan, dan sejalan dengan tata kelola perusahaan yang baik," kata hakim Pangeran, Selasa (19/2/2013).

Majelis juga mempertimbangkan fakta yang menunjukkan kalau PT MNA sampai saat ini masih mengupayakan agar TALG mengembalikan security deposite yang telah dibayarkan tersebut setelah perusahaan asing itu tidak mampu mendatangkan pesawat yang dijanjikan kepada PT MNA.

Selain itu, menurut hakim, PT MNA telah melakukan upaya gugatan kepada Alan Messner dan Jon C Cooper dari TALG. Gugatan itu pun, dimenangkan di Pengadilan Negeri Kolombia beberapa waktu lalu.

"Majelis hakim tidak melihat adanya niat dari terdakwa yang bertujuan untuk memperkaya TALG dengan membayarkan security deposite 1 juta dollar AS dengan demikian unsur menguntungkan diri sendiri suatu koorporasi tidak terbukti menurut hukum," kata Pangeran.

Dalam putusannya, majelis hakim juga menyebutkan kalau KPK pernah melakukan penelaahan atas penyewaan pesawat oleh PT MNA ini. Dari penelaahan tersebut, KPK menyimpulkan tidak ada indikasi tindak pidana korupsi.

Selain KPK, penyewaan pesawat ini pun pernah diselidiki Badan Reserse Kriminal Mabes Polri beberapa waktu lalu. Hasilnya, sama dengan KPK, Bareskrim Polri tidak menemukan unsur tindak pidana korupsi yang dapat menimbulkan kerugian negara.

Karena Hotasi terbukti melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim memberikan hak untuk membersihkan nama baiknya. "Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, harkat dan martabatnya," tegas Hakim Pangeran. [mvi]

Sumber: Inilah.com

Karikatur tentang Kasus Penyewaan Pesawat Merpati


Ada blog unik yang bersimpati terhadap kasus penyewaan pesawat Merpati. Blog ini memuat karikatur menarik yang menggambarkan kasus ini. Terima kasih atas dukungan teman-teman yang membantu menjelaskan duduk perkara kasus ini yang sebenarnya. Semoga kita semua bisa membantu menegakkan keadilan di negeri ini.




Sumber: IdeaBlog

Dukungan Keluarga dan Teman-Teman Saat Pembacaan Duplik



Saat pembacaan duplik pada 5 Februari lalu di Pengadilan Tipikor Jakarta, banyak saudara dan sahabat yang datang. Saya bersyukur ternyata masih banyak orang yang mendukung bahwa kasus penyewaan pesawat Merpati merupakan perkara perdata, bukan pidana. Mereka juga percaya saya hanyalah korban dari kejahatan warga negara Amerika Serikat.

Terima kasih atas dukungan saudara, teman, dan tim penasihat hukum terhadap kasus ini. Mari kita sama-sama mengawal pemberantasan korupsi di negara ini agar berjalan ke arah yang benar.





Video Kronologi dan Fakta Kasus Penyewaan Pesawat Merpati



Guna memperjelas duduk perkara kasus penyewaan pesawat PT Merpati Nusantara Airlines, berikut saya persembahkan video kronologi dan data serta fakta yang sebenarnya terhadap kasus ini. Seluruh masyarakat Indonesia bisa melihat dan menilai sendiri apakah ini merupakan kasus korupsi atau hanya kasus perdata yang dipaksakan menjadi pidana.

Mari, kita menjadi saksi apakah pemberantasan korupsi sudah berada di rel yang benar ataukah hanya untuk popularitas lembaga hukum dan pencapaian target yang tidak memperhatikan unsur keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Peluncuran Buku "Kami Korban Kejahatan Orang Lain"



Ada yang menarik dalam peluncuran buku Kami Korban Kejahatan Orang Lain ini. Jika biasanya peluncuran sebuah buku dilakukan di toko buku, pusat perbelaan, atau bahkan kafe, peluncuran buku ini dilakukan di pengadilan. Ya, buku Kami Korban Kejahatan Orang Lain ini diluncurkan di sela-sela duplik yang dilakukan penasihat hukum dalam kasus penyewaan pesawat oleh PT Merpati Nusantara Airlines di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Saya menerbitkan buku ini untuk memaparkan suatu peristiwa pemaksaan perkara tindak pidana korupsi demi tujuan di luar niat bangsa ini memberantas korupsi. Sebenarnya, perkara ini sederhana. Perusahaan sewa pesawat Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG) telah wanprestasi terhadap Merpati. Kemudian, Merpati memenangi gugatan di pengadilan Washington, DC. Namun uang deposit tidak dikembalikan pemilik TALG. Atas indikasi penipuan ini, Kejaksaan Amerika Serikat mendakwa pemilik TALG dengan pidana berat. Anehnya, Kejaksaan Republik Indonesia malah mempidanakan saya sejak Agustus 2011. Suatu ironi yang menyakitkan.

Judul pledoi Kami Korban Kejahatan Orang Lain ini menggambarkan suasana batin saya dan banyak orang yang menjadi korban dari kriminalisasi ini. Pengadilan kami telah berlangsung 25 kali selama 6 bulan. Keluarga dan ratusan sahabat selalu setia datang dan berdoa. Mereka bersama peliput media menjadi saksi hidup dengan hati nurani apakah ini sebuah perkara korupsi atau tidak.

Peluncuran buku ini juga dihadiri aktivis dan pegiat gerakan antikorupsi Hendardi, Sekretaris Menteri BUMN Wahyu Hidayat, Ketua Ombudsman Republik Indonesia Danang Giri, mantan Wakil Ketua KPK Chandra Hamzah, serta Ketua Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Setyanto. Saya bersyukur mereka semua dengan tulus mendukung saya, sekaligus menjadi saksi apakah pemberantasan korupsi di negara ini telah menuju ke arah yang benar atau justru sebaliknya.

Versi digital buku Kami Korban Kejahatan Orang Lain 
dapat dibaca di sini.