JADWAL SIDANG KASUS SEWA PESAWAT MERPATI

MA MEMVONIS EMPAT TAHUN DAN DENDA RP 200 JUTA ATAS KASUS MERPATI. KEPUTUSAN YANG SUNGGUH MENGEJUTKAN. PADAHAL SEBELUMNYA PENGADILAN TIPIKOR JAKARTA MEMVONIS BEBAS. HARAPAN ADA DI PENGAJUAN PK. MOHON DUKUNGAN DEMI TEGAKNYA KEADILAN. |

Pledoi Hotasi Tegaskan Sewa 2 Pesawat Boeing Dilakukan Sesuai Prosedur



Jaksa penuntut umum menolak nota pembelaan (pledoi) mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines Hotasi Nababan dan tim penasihat hukumnya. Hotasi tetap dituntut 4 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsidair 6 bulan kurungan. Jaksa menilai Hotasi terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor.

Padahal, dalam pledoinya, Hotasi menegaskan sewa 2 pesawat Boeing dilakukan sesuai prosedur. "Tidak ada pelanggaran Anggaran Dasar. Saya tidak boleh mengambil keputusan sendiri, harus bersama dengan semua Direksi lain. Keputusan kolektif menghindarkan adanya penyalahgunaan wewenang oleh saya atau yang lain," kata Hotasi di sidang 22 Januari pekan lalu.

Dalam sewa pesawat ini, Merpati dan pihak penyedia pesawat yakni Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG) telah menyusun perjanjian yang sesuai standar dan prosedur dunia penerbangan.
"Tidak ada prosedur atau ketentuan yang dilanggar, baik internal maupun eksternal perusahaan. Telah dilakukan upaya ekstra untuk memeriksa TALG dan kantor hukumnya Hume," tuturnya.

Selain itu, kebijakan sewa pesawat dan penempatan dana deposit diputuskan secara bersama oleh direksi Merpati.

"Kerugian negara belum terjadi, karena deposit itu diakui ada di kedua pemilik TALG. Potensi pengembalian masih ada. Selain itu, tidak terbukti adanya unsur kesengajaan dan unsur memperkaya diri sendiri," imbuh Hotasi.

Dalam pledoinya, Hotasi juga mempaparkan proses sewa pesawat termasuk upaya gugatan ketika dana deposit sebesar US$ 1 juta tidak dikembalikan TALG. Hotasi menyebut putusan Pengadilan District of Columbia, AS tanggal 8 Juli 2007 yang memenangkan gugatan Merpati atas TALG dan Alan Messner menjadi bukti upaya Merpati mengembalikan dana deposit.

Sidang Hotasi akan dilanjutkan pekan depan 5 Februari dengan agenda pembacaan tanggapan penasihat hukum atas replik jaksa (duplik).

Sumber: Dikutip dari Detik.com



Kala Hakim Tipikor "Tersinggung" Soal Tradisi Vonis Bersalah


Tak seperti di persidangan biasanya, hakim Hendra Yospin tidak mencecar saksi, ahli atau terdakwa dalam perkara yang tengah diperiksa. Di persidangan dugaan korupsi sewa pesawat PT Merpati Nusantara Airlines, Hendra malah tertarik menanggapi pernyataan mantan Menteri BUMN Sofyan Djalil yang dihadirkan sebagai ahli meringankan.

Bukan soal keterangan Sofyan atas perkara Merpati, Hendra memilih menanggapi pernyataan Sofyan yang menyebut tradisi para hakim di Pengadilan Tipikor yang selalu memutus terdakwa.

Rupanya dia agak 'terganggu' dengan pernyataan itu. Usai jaksa penuntut umum mengajukan ke pertanyaan ke Sofyan, Anwar memilih memberi penjelasan.

"Saya saat ini tidak mau bertanya, tapi ingin memberikan penjelasan ke ahli," kata Hendra dalam sidang lanjutan perkara dugaan korupsi Merpati di Pengadilan Tipikor, Jalan HR Rasuna Said, Jaksel, Senin (5/11/2012).

Hendra menepis dugaan Sofyan yang menyebut hakim Tipikor terpenjara dengan opini publik mengenai tradisi vonis bersalah. "Yakinlah kita akan profesional, kita tidak ada tekanan dari siapapun," ujarnya.

"Kita menegaskan untuk megubah opini yang ada karena kami bertanggungjawab kepada Tuhan," imbuhnya.

Kepada Sofyan, dia menegaskan hakim memutus perkara objektif sesuai fakta persidangan yang didasari bukti hukum. "Kalau harus bebas kami akan membebaskan, tapi kalau bersalah kami akan menghukum sesuai kesalahan," katanya.

Sejak awal persidangan Sofyan yang kini menjadi staf khusus Wapres Boediono memang menunjukkan kerisauannya atas perkara Hotasi. Berulang kali dia menyebut bila Hotasi diputus bersalah akan membuat keguncangan.

"Seandainya kasus Hotasi dipidana akan berimplikasi luas bagi praktik BUMN," ujar Sofyan. "Seandainya terdakwa dihukum implikasinya luar biasa negatif," katanya menegaskan.

Dampak negatif yang dimaksud, direksi BUMN tidak berani meneken keputusan karena khawatir akan terjerat tindak pidana. "Kalau Hotasi dihukum akan jadi preseden dalam keputusan korporasi. Akhirnya direksi BUMN tidak berani mengambil keputusan, jadi takut nanti dipersoalkan," terang Sofyan.

Sofyan mulanya sempat 'keselip lidah' dengan meragukan vonis bebas. "Apalagi Tipikor ini seolah-olah sudah dianggap pasti tidak akan memutus bebas karena opini publik," sebutnya.

Namun setelah diberi penjelasan oleh hakim Hendra, Sofyan mengaku menerimanya. "Saya bersyukur bisa bertemu hakim anggota. Tapi kalaupun divonis bebas the damage has been done," katanya.

Sumber: Detik.com 

Dukungan Muncul dari Berbagai Pihak dan Kalangan


Tidak hanya dari para pejabat di negeri ini, dukungan terhadap kasus saya juga muncul dari masyarakat luas, baik langsung maupun melalui media sosial di internet. Salah satunya melalui tanda tangan yang mereka berikan dalam petisi di http://www.change.org/id/petisi/membebaskan-mantan-dirut-merpati-hotasi-nababan-dari-tuntutan-pidana-kasus-merpati.


Saya sangat bersyukur ternyata saya mendapat dukungan dari berbagai pihak. Meski saya didakwa melakukan korupsi, ternyata masyarakat jeli. Tidak semua orang yang disangka terlibat kasus korupsi itu adalah koruptor. Mereka tahu saya hanyalah korban dari kejahatan orang lain. Terima kasih atas dukungan seluruh masyarakat Indonesia.

Pledoi: Kami Korban Kejahatan Orang Lain


Pada 22 Januari 2013, saya membacakan pledoi saya berjudul “Kami Korban Kejahatan Orang Lain”. Melalui pledoi ini, saya berharap Majelis Hakim juga dapat menggugurkan dakwaan subsidair, setelah dakwaan primer dalam tuntutan jaksa sebelumnya telah dianggap tidak terbukti. Ini semua demi mengembalikan marwah atau kehormatan hakim.

Pledoi saya selengkapnya bisa dibaca di sini.

Kasus Penyewaan Pesawat Merpati Hanya Rekayasa



Harian Suara Pembaruan memberitakan kasus penyewaan pesawat oleh Merpati merupakan rekayasa. Memang benar, dari fakta di persidangan, lembaga hukum seperti KPK, Bareskrim, dan Kejaksaan menyatakan kasus ini tidak mengandung unsur korupsi. Bahkan, dalam audit BKP juga tidak ada unsur saya memperkaya diri sendiri dalam kasus ini. Maka dari itu, saya yakin kasus ini hanya rekayasa.

Sumber: Suara Pembaruan, 23 Januari 2003

Kasus Merpati Telah Membuat Makna Korupsi Menjadi Melenceng



Sebuah situs internet berbahsa Inggris, amindolaw.com, menyoroti kasus penyewaan pesawat Merpati secara menarik. Di situ sini disebutkan, "Jika Anda menganggap bahwa korupsi di Indonesia adalah sama dengan korupsi dalam bahasa Inggris, Anda mungkin bingung. Tindakan Hotasi merupakan keputusan bisnis. Meskipun keputusan ini bisa diperdebatkan, yang jelas ini bukan tidakan korupsi. Kasus ini telah mendefinisikan kata "korupsi" yang seluruhnya melenceng."

Artikel lengkapnya dapat dibaca di sini.

Hotasi dan Lampu Kuning BUMN

Ditulis oleh M. Tahir Saleh
Tulisan ini dimuat di Harian Bisnis Indonesia, edisi Rabu 16 Januari dan Kamis 17 Januari 2013


MANTAN Dirut Merpati Nusantara Airlines Hotasi Nababan masih ingat pertemuannya dengan Menteri BUMN Dahlan Iskan suatu hari setelah sang menteri pulang dari  Darwin, Australia.

Dahlan merespons buku Jangan Pidanakan Perdata setebal 259 halaman yang ditulisnya.
“Hot, Anda begitu nekat bikin buku ini,” katanya menirukan ucapan Dahlan.

Hotasi lantas mengatakan dirinya membuat buku itu bukan hanya untuknya.

“[Buku] ini untuk banyak orang lain termasuk Bapak,” katanya.

“Bapak lagi nimang cucu, tiba—tiba datang surat, amplop coklat, lambang kiri Kejaksaan Agung, itu bisa terjadi Pak,” katanya lagi.

Gamblang Hotasi menceritakan pertemuan itu dalam sebuah forum diskusi akhir Desember tahun lalu yang digelar oleh Lembaga Komisaris dan Direktur Indonesia.

Cukup banyak direksi BUMN yang hadir dalam acara yang disponspori oleh PT Kereta Api Indonesia dan Perumnas tersebut.

Baginya, peluang kriminalisasi bekas pimpinan perusahaan pelat merah dalam mengambil keputusan sangat besar. Seperti apa yang dialaminya kini; menjadi terdakwa dengan tuduhan memperkaya orang lain, mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar US$1 juta.

Pembelaan itu juga yang coba diungkapkan Hotasi dalam buku Jangan Pidanakan Perdata, Menggugat Perkara Sewa Pesawat Merpati yang terbit perdana Juni tahun lalu. Dia mengatakan menulis buku tentang kasus korupsi yang menjerat dirinya sendiri adalah pekerjaan sangat sulit.

Artikel selengkapnya dapat dibaca di sini.


Pramono Anung Hadir di Sidang Hotasi Nababan



Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Pramono Anung hadir dalam persidangan kasus dugaan korupsi penyewaan pesawat jenis Boeing 737-400 dan Boeing 737-500 dengan terdakwa mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines (PT MNA), Hotasi Nababan, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (22/1/2013).

Kedatangan Pramono di Pengadilan Tipikor tersebut sempat mengejutkan sejumlah wartawan. Saat ditanya, Pramono mengaku sengaja hadir untuk mendukung Hotasi yang merupakan sahabat lamanya. "Hotasi sahabat lama saya," kata Pramono.

Hotasi menyetujui penyewaan pesawat dua jenis Boeing tanpa persetujuan rapat umum pemegang saham (RUPS). Pembayaran uang sewa pun tidak dilakukan melalui instrumen yang aman sehingga uang tidak dapat diambil kembali ketika terjadi masalah. Hal yang menjadi masalah, dua pesawat yang disewa tersebut tidak kunjung datang meskipun uang 1 juta dollar AS sudah disetorkan.

Atas kasus Hotasi ini, Pramono menilai sahabatnya itu tidak bersalah. Menurutnya, kebijakan penyewaan pesawat tersebut diputuskan Hotasi demi kepentingan publik.

"Saya melihat ada semacam target kepada Hotasi karena saat ini tidak ada orang dengan reputasi seperti Hotasi, tetapi dia malah dililit masalah. Bahkan banyak orang yang sudah betul-betul bersalah, tetapi dibiarkan saja," ungkap Pramono.

Politikus PDI Perjuangan itu bahkan mengaku jengkel dengan proses hukum di Indonesia yang cenderung mudah dipermainkan. "Ini kebijakan secara organisatoris yang diambil secara profesional di Merpati saat itu dan dia (Hotasi) tidak bisa dipidana," katanya.

Dikutip dari Kompas.com

Dukungan Juga Datang dari Wakil Ketua DPR Pramono Anung



Saya bersyukur, berbagai pihak mendukung saya dalam kasus penyewaan pesawat Merpati. Tak hanya masyarakat umum, bahkan Wakil Ketua DPR Pramono Anung juga hadir memberikan dukungan dalam sidang pledoi saya di Pengadilan Tipikor Jakarta pada 22 Januari 2012.

Pram mengaku datang berkunjung karena bersimpati pada kasus ini.

"Saya melihat kebijakan yang Hotasi lakukan waktu menjabat demi kepentingan orang banyak," kata Pram beberapa saat lalu.

Menurut dia, dalam perkara ini, saya sama sekali tak bersalah. Saya hanya dijadikan target oleh pihak-pihak tertentu. Saat ini tidak ada orang dengan reputasi seperti saya, yang sialnya malah dililit masalah.

"Bahkan, banyak orang yang sudah betul-betul bersalah tapi dibiarkan saja," terangnya.

"Ini kebijakan secara organisatoris yang diambil secara profesional di Merpati saat itu. Dan tidak bisa dipidana," imbuhnya.

Karenanya, sebagai kawan lama, dia merasa sangat jengkel sebab kawannya menjadi korban permainan hukum di Indonesia.

Terima kasih teman-teman atas dukungannya. Dukungan petisi secara online juga dapat disampaikan dengan mengeklik situs ini.

Mari kita sama-sama menjadi saksi apakah hukum telah ditegakkan di negeri ini.

Sumber: Disarikan dari Rmol.co

Kami Adalah Korban Kejahatan Orang Lain



Media menyoroti pledoi yang saya bacakan di Pengadilan Tipikor Jakarta pada 22 Januari 2012 dengan berita yang beragam. Intinya, media telah memberitakan kegalauan saya dalam kasus penyewaan pesawat Merpati ini. Kasus ini terlalu dipaksakan. Kami korban kejahatan dari pengusaha Amerika Serikat malah berujung didakwa korupsi.

Semoga Majelis Hakim dapat menelaah pledoi saya dan membebaskan saya dari segala tuduhan. Ini karena "Kami Korban Kejahatan Orang Lain".

Berikut ini link berita dari berbagai media terkait pledoi saya.



KPK: Kasus Penyewaan Pesawat oleh Merpati Tidak Memenuhi Kriteria Tindak Pidana Korupsi

Pada tanggal 9 Oktober 2009, I Wayan Suarna, pelapor kasus pengadaan dua pesawat oleh PT Merpati Nusantara Airlines, mendapat surat dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam surat ini, KPK menyebutkan telah melakukan penelaahan seluruh materi pengaduan terkait dugaan korupsi pada penyewaan dua pesawat oleh Merpati.


Dari hasil penelaahan ini, KPK menyimpulkan gagalnya pengadaan pesawat yang dilakukan oleh Merpati di bawah Direktur Utama Hotasi Nababan tidak memenuhi kriteria tindak pidana korupsi sesuai dengan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.

Dengan demikian jelas sudah kasus gagalnya pengadaan pesawat oleh Merpati itu sama sekali tidak mengandung unsur tindak pidana korupsi. Jika lembaga superbody dan sangat disegani terhadap pemberantasan korupsi di negeri ini saja telah mengatakan bahwa kasus ini tidak mengandung unsur korupsi, mengapa lembaga lain menganggap ada unsur memperkaya diri atau orang lain?

Masihkah keputusan KPK ini diragukan? Jika antara lembaga penegak hukum yang satu dan yang lain tidak satu pendapat, bagaimana keadilan bisa ditegakkan? Bukankah tujuan semua lembaga hukum di negeri ini satu: menjunjung tinggi keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia?

Bareskrim: Tak Ditemukan Fakta Korupsi pada Kasus Penyewaan Pesawat oleh Merpati

Pada tanggal 27 September 2007, Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri memutuskan kasus kegagalan penyewaaan dua pesawat yang dilakukan PT Merpati Nusantara Airlines tidak mengandung unsur tindak pidana korupsi. Surat ini ditandatangani oleh Direktur  III Pidana Korupsi dan WCC H.A. Nurman Thahir, SMIK, S.H.



Salinan surat resmi dari Bareskrim ini dapat dilihat

secara lengkap di sini.

BPK Sarankan Merpati Terus Kejar Uang yang Diambil oleh TALG


Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) belum mencatat gagalnya sewa pesawat oleh PT Merpati Nusantara Airlines sebagai kerugian negara. Ini karena BPK menganggap uang yang diambil Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG) masih bisa dikejar. Maka dari itu, BPK menyarankan Menteri BUMN untuk meminta direksi Merpati terus mengejar uang yang diambil TALG di Amerika Serikat.

Putusan Pengadilan AS: TLAG Terbukti Wanprestasi dan Diminta Membayar Denda ke Merpati

Ketika Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG) tidak menepati janji mengirim dua pesawat yang telah dibayar PT Merpati Nusantara Airline sebesar US$ 1 juta, Merpati menggugatnya ke pengadilan Amerika Serikat (District Court for District of Columbia). Kasus ini akhirnya diputuskan pada 8 Juli 2007 oleh pengadilan Amerika Serikat bahwa TALG terbukti bersalah. Perusahaan itu  diwajibkan membayar US$1 juta ditambah bunga.

Merpati pun melaporkan perkembangan ini kepada kementerian terkait dan bekerja sama dengan Kedutaan Besar Indonesia di Washington DC dan Kedutaan Amerika Serikat di Jakarta untuk meneruskan proses setelah pengadilan.
Pengacara Merpati di Washington DC dan Chicago langsung mengejar aset Alan Messner selaku pemilik TALG dan firma Hume. Setelah Hotasi Nababan mengundurkan diri, upaya pengejaran dilanjutkan oleh dua periode direksi selanjutnya.

Pada 18 Juli 2008, Merpati meminta Kejaksaan Agung bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (DATUN) sebagai pengacara negara untuk menyaksikan mediasi di depan hakim antara Merpati dan Jon Cooper dari Hume di Washington. Oleh karena proposal pengembalian terlalu lama, perwakilan DATUN menyarankan agar Merpati menggugat pidana Jon Cooper (dari Hume) supaya memaksa pengembalian lebih cepat.

Pada 30 Juli 2010, Messner melakukan pengembalian sejumlah uang ke Merpati, yang menunjukkan ada potensi pengembalian. Namun pengejaran tidak dilanjutkan oleh manajemen Merpati saat ini karena alasan biaya.
Surat keputusan pengadilan AS yang memvonis TALG bersalah dan diminta membayar denda kepada Merpati dapat dilihat di sini.

Surat Pembaca dari Dosen Ilmu Hukum Dr. Made Darma Weda, S.H., M.S.

Membaca blog Sdr. Hotasi, ada beberapa pemikiran yang perlu saya sampaikan:

Pertama, pemberantasan korupsi di masa sekarang ini menjadi tren yang cukup memprihatinkan. Penegak hukum menjadikan kasus korupsi sebagai target untuk membersihkan diri atau instansinya. Artinya, lembaga penegak hukum merasa dirinya bersih dari tindakan koruptif ketika dia mampu mengungkap kasus korupsi. Maka target pengungkapan korupsi menjadi penting untuk menunjukkan bahwa mereka benar-benar mampu memberantas korupsi dan sekaligus mendeklarasikan bahwa dirinya adalah anti korupsi.

Akibat dari tren yang demikian ini, maka banyak kasus yang diajukan ke pengadilan sebagai kasus korupsi. Celakanya lagi, hakim yang mengadili kasus korupsi seolah tidak memiliki keberanian untuk mengadili berdasarkan kebenaran. Akibatnya, jatuhlah vonis yang ringan karena hakim tidak berani memberikan putusan bebas.

Sadar atau tidak, proses penegakan hukum terhadap kasus korupsi sekarang ini sangat jauh dari rasa keadilan. Mereka yang benar-benar korupsi dijatuhi pidana yang sangat ringan. Sedangkan mereka yang tidak melakukan korupsi juga dijatuhi sanksi yang ringan pula, tanpa ada keberanian untuk menvonis bebas. Maka, pengadilan berubah menjadi penghukuman; sama sekali jauh dari keadilan. Padahal, pengadilan haruslah mampu memberikan keadilan bagi mereka yang mencari keadilan.

Kedua, kasus yang menimpa Sdr. Hotasi sangat aneh bila dilihat dari proses penyelidikan dan penyidikan. Lembaga seperti KPK, Bareskrim, dan BPK, yang telah melakukan pemeriksaan dan jelas-jelas menyatakan tidak ada unsur koruptif tetap dilakukan proses penyidikan oleh Kejaksaan. Dalam hukum pidana, terdapat asas atau prinsip yang disebut sebagai asas "ne bis in idem". Asas ini memberikan perlindungan kepada setiap warga bahwa mereka tidak bisa dituntut kedua kali atas hal yang sama, apabila telah dijatuhi putusan oleh hakim. Asas ne bisnis in idem ini pada dasarnya memang untuk kasus yang telah ada putusan hakim. Namun inti dari asas ini adalah adanya jaminan kepastian hukum terhadap seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana.
Bila asas ne bis in idem ini dikaitkan dengan kasus yang sedang dialami oleh Sdr. Hotasi, maka perlu dipertanyakan dalam kaitannya dengan asas ne bis in idem. Hasil pemeriksaan KPK, Bareskrim, dan BPK, sudah cukup untuk memperkuat bahwa tidak ada tindak pidana korupsi. Artinya kejaksaan telah menganulir hasil pemeriksaan KPK, Bareskrim, dan BPK. Ini berarti tidak ada kepastian hukum bagi orang yang disangka telah melakukan tindak pidana. Seharusnya berlaku juga ne bis in idem, mengingat lembaga yang paling berwenang melakukan pemeriksaan terhadap tindak pidana korupsi adalah KPK. KPK dalam hal ini melalui fungsi koordinasi seharusnya dapat memberikan petunjuk kepada Kejagung bahwa apa yang terjadi di Merpati, bukan merupakan tindak pidana sebagaimana hasil pemeriksaan KPK.

Pengalaman saya menjadi ahli di pengadilan menunjukkan bahwa Kejaksaan sangat ceroboh dengan dakwaan-dakwaannya. Sering kali perbuatan yang termasuk dalam perbuatan korupsi tidak diuraikan dengan baik dan jelas. Ada kesan asal-asalan dan menyerahkan putusan terhadap kasus tersebut kepada Majelis Hakim.

Masih ingat kasus Sisminbakum, yang ditangani Kejagung? Hasilnya, MA memutus bebas. Karena apa? Karena memang tidak ada tindak pidana korupsi.

Semoga dalam kasus ini hakim berani memutus bebas dan menyatakan tidak ada tindak pidana di Merpati.

Hukum memang demikianlah adanya. Sdr. Hotasi tetap harus berjuang untuk menggapai keadilan.

Jakarta, 14 Januari 2013
Dr. Made Darma Weda, S.H., M.S.
Dosen Pascasarjana Program Ilmu Hukum
Universitas Krisnadwipayana, Jakarta

Video Kesaksian Sofyan Djalil dalam Sidang Kasus Penyewaan Pesawat oleh Merpati



Dalam sidang di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta pada 5 November 2012 ini, mantan Menteri BUMN Sofyan Djalil dengan tegas mengatakan Hotasi Nababan tidak bersalah dalam gagalnya penyewaan pesawat oleh PT Merpati Nusantara Airlines. Hal ini semata merupakan risiko bisnis. Sofyan juga mengungkapkan, seandainya kasus Hotasi ini berujung pidana, dampaknya akan sangat luar biasa terhadap bisnis BUMN. Para petinggi perusahaan milik negara tidak berani melakukan sesuatu karena kalau salah mereka akan dipenjara. Intinya, jika Hotasi dipenjara, kasu ini secara tidak langsung mengatakan, “Hai para direksi BUMN, jangan melakukan apa-apa, karena akan ada potensi risiko.”

Sofyan Jalil juga berjanji, jika masih menjabat sebagai Menteri BUMN, ia akan tuntut  dana Merpati yang diambil Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG) sampai ke mana pun.  Berapa pun biayanya. Ini karena akan berdampak pada bisnis BUMN secara keseluruhan.

Pakar Hukum UGM: Kasus Merpati Bukan Korupsi

Sidang kasus pengadaan dua pesawat oleh PT Merpati Nusantara Airlines dengan agenda mendengarkan saksi ahli pakar hukum pidana korupsi dari UGM, Prof. Edward Omar Sharif Hiariej. (Pengadilan Tipikor Jakarta,12 November 2012)


Penasihat Hukum Lawrence Siburian: Merpati Selalu Hati-hati dalam Hal Pembayaran




Dalam sidang kasus penyewaan pesawat oleh PT Merpati Nusantara Airlines, penasihat hukum Merpati di Amerika Serikat, Lawrence Siburian, menuturkan maskapai ini telah sangat berhati-hati dalam melakukan proses penyewaan pesawat. Merpati selalu melakukan pengecekan kepada pihak yang akan menyewakan pesawat.

Sampai akhirnya, semua direksi Merpati memutuskan untuk memilih Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG) sebagai lessor dua pesawat Boeing. Tapi, karena reputasi Merpati di Amerika Serikat waktu itu kurang baik, TALG meminta Merpati membayar uang muka secara tunai untuk biaya sewa pesawat. Meski sudah lama sulit mendapatkan pesawat dan sangat membutuhkannya untuk memperbaiki keuangan perusahaan, Merpati tetap berhati-hati dalam mentransfer uang. Akhirnya diputuskan menggunakan security deposit. Uang ini disimpan oleh pihak ketiga yang independen. Menurut perjanjian, uang akan dikembalikan jika penyewaan pesawat tidak jadi dilakukan.

Setelah uang US$ 1 juta dikirim ke security deposit, TALG ingkar janji untuk menyewakan dua pesawat Boeing. Bahkan, uang yang ada di security deposit diambil oleh TALG dengan cara ilegal. Karena merasa dicurangi, Merpati pun menuntut TALG ke pengadilan di AS. Akhirnya, hakim di pengadilan AS memutuskan TALG wanprestasi dan diminta mengembalikan uang Merpati.

Hingga saat ini, TALG baru mengembalikan uang Merpati sebesar US$ 4.800 dari US$ 1 juta. Menurut Lawrence, sebenarnya Merpati bisa menuntut uangnya kembali, plus biaya pengacara. Asalkan, Merpati mau meneruskan kasus ini dengan menyewa pengacara di AS.

Intinya, Lawrence menegaskan, sekarang masalah ini bergantung pada direksi Merpati saat ini apakah mau mengejar uang yang dikemplang TALG atau tidak.

Prof Supancana: Keputusan Bisnis yang Dilakukan Penuh Keyakinan Sudah Memenuhi Unsur Kehati-hatian



Pakar hukum internasional Profesor Supancana, SH MM, memberi kesaksian dalam sidang kasus penyewaan pesawat oleh PT Merpati Nusantara Airlines. Profesor Supancana mengungkapkan, dalam bisnis penyewaan pesawat, pembayaran dengan security deposit itu lazim digunakan dan tidak melanggar hukum. Ia menambahkan, penandatanganan perjanjian bisa dilakukan secara elektronik. Kedua pihak yang berkepentingan tidak harus bertatap muka. Hal itu sudah sah secara hukum. Jika terjadi wanprestasi, pihak yang dirugikan bisa menuntutnya di pengadilan. Profesor Supancana juga mengatakan, “Keputusan bisnis sudah dianggap didasarkan pada kehati-hatian jika dilakukan dengan keyakinan.”

Atas Hukuman Selama 4 Tahun yang Dituntut Jaksa, Kami Berpendapat:


1. Walaupun penuntut membebaskan tuduhan primer, mereka tetap memaksakan subsider dan tuntutan tinggi. JAM Pidsus sengaja tidak mengindahkan semua fakta obyektif yang menunjukkan perkara ini murni perdata dan tidak ada unsur pidana. Ini antara lain PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) menang di pengadilan Amerika Serikat, saya tidak mendapat manfaat apa pun, uang deposit masih sedang dikejar, dan tidak ada pelanggaran prosedur.

2. Tuntutan ini bisa menjadi precedence bagi semua dirut BUMN yang telah pensiun atau sedang menjabat, bahwa keputusan yang berisiko bisnis dapat dipidanakan.

3. JAM Pidsus telah ngotot memaksakan tuntutan ini karena gengsi dan alasan tidak jelas. Pemaksaan JAM Pidsus telah merampas hak asasi kami dan memberi beban ke Majelis Hakim. Bagaimana bisa orang lain yang mencuri, kami yang dipidana? Di mana logikanya?

4. Jika deposit itu dianggap kekayaan negara, kejaksaan seharusnya gigih mengejar uang itu ke AS karena kedua warga negara AS tersebut sudah diketahui aset dan alamatnya. Bahkan, salah satunya sedang didakwa pidana penggelapan uang MNA ini di pengadilan Washington DC.

5. Kami sangat berharap pengadilan ini adalah benteng keadilan terakhir. Kami percaya Majelis Hakim akan menilai semua fakta secara obyektif. Sehingga, atas perkenan Tuhan, kami berharap bisa bebas.

Mantan Dirut Merpati Nilai Tuntutan Jaksa Dipaksakan


"Walaupun penuntut membebaskan dakwaan primair, tapi tetap memaksakan dakwaan subsider dengan tuntutan tinggi. Jaksa sengaja tidak mengindahkan semua fakta obyektif yang menunjukkan perkara ini murni perdata dan tidak ada unsur pidana."

Mantan Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) Hotasi Nababan mengaku kecewa dengan tuntutan empat tahun penjara dan denda Rp500 juta yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Tuntutan tersebut terkesan dipaksakan.

"Walaupun penuntut membebaskan dakwaan primair, tapi tetap memaksakan dakwaan subsider dengan tuntutan tinggi. Jaksa sengaja tidak mengindahkan semua fakta obyektif yang menunjukkan perkara ini murni perdata dan tidak ada unsur pidana," kata Hotasi usai mendengarkan pembacaan tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (7/1).

Menurut Hotasi, tuntutan ini akan menjadi preseden buruk bagi direktur BUMN yang sedang menjabat ataupun telah pensiun. Pasalnya, keputusan yang berisiko bisnis yang diambil dapat dipidanakan.
Menurut dia, dalam kasus ini PT MNA telah memenangkan gugatan di Pengadilan Amerika Serikat yang putusannya mengharuskan PT Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG) mengembalikan security deposit sebesar US$1 juta.

"MNA menang di pengadilan AS, saya tidak mendapat manfaat apapun, uang security deposit masih sedang dikejar, dan tidak ada pelanggaran prosedur," tegas Hotasi.

Dia menambahkan, bila security deposit merupakan kekayaan negara seharusnya Kejaksaan Agung berupaya mengejar pengembalian uang ke AS.

"Karena kedua WN AS (Alan Messner dan Jon C Cooper) itu sudah diketahui aset dan alamatnya. Bahkan salah satu sedang didakwa pidana penggelapan uang MNA ini di pengadilan Washington DC," imbuhnya.
Oleh karena itu, Hotasi berharap majelis hakim dalam putusan nantinya dapat mengambil keputusan secara obyektif berdasarkan fakta persidangan.
"Kami percaya majelis hakim akan menilai semua fakta secara obyektif sehingga kami berharap semoga bisa dibebaskan," ujarnya.

Jaksa Menuntut Kami 4 Tahun dan Denda Rp 500 Juta


Dalam sidang di Tipikor Jakarta Pusat pada 7 Januari, jaksa memang membebaskan dakwaan primer kasus sewa pesawat PT Merpati Nusantara Airlines. Tapi jaksa menuntut hukuman subsider 4 tahun penjara dan denda Rp 500 juta.

Tuntutan itu tidak berdasar. Ini karena kerugian negara belum terbukti. Uang negara yang diambil perusahaan Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG) di Amerika Serikat masih dalam pengejaran. Sejak awal, lembaga hukum lain seperti kepolisan dan KPK pun menganggap kasus ini murni perdata.

Jadi, tuntutan jaksa tersebut benar-benar tidak beralasan. Semoga keadilan bisa ditegakkan dalam kasus ini.

Kliping Berita Persidangan Kasus Sewa Pesawat Merpati (Januari-Desember 2012)