JADWAL SIDANG KASUS SEWA PESAWAT MERPATI

MA MEMVONIS EMPAT TAHUN DAN DENDA RP 200 JUTA ATAS KASUS MERPATI. KEPUTUSAN YANG SUNGGUH MENGEJUTKAN. PADAHAL SEBELUMNYA PENGADILAN TIPIKOR JAKARTA MEMVONIS BEBAS. HARAPAN ADA DI PENGAJUAN PK. MOHON DUKUNGAN DEMI TEGAKNYA KEADILAN. |

Surat Pembaca dari Dosen Ilmu Hukum Dr. Made Darma Weda, S.H., M.S.

Membaca blog Sdr. Hotasi, ada beberapa pemikiran yang perlu saya sampaikan:

Pertama, pemberantasan korupsi di masa sekarang ini menjadi tren yang cukup memprihatinkan. Penegak hukum menjadikan kasus korupsi sebagai target untuk membersihkan diri atau instansinya. Artinya, lembaga penegak hukum merasa dirinya bersih dari tindakan koruptif ketika dia mampu mengungkap kasus korupsi. Maka target pengungkapan korupsi menjadi penting untuk menunjukkan bahwa mereka benar-benar mampu memberantas korupsi dan sekaligus mendeklarasikan bahwa dirinya adalah anti korupsi.

Akibat dari tren yang demikian ini, maka banyak kasus yang diajukan ke pengadilan sebagai kasus korupsi. Celakanya lagi, hakim yang mengadili kasus korupsi seolah tidak memiliki keberanian untuk mengadili berdasarkan kebenaran. Akibatnya, jatuhlah vonis yang ringan karena hakim tidak berani memberikan putusan bebas.

Sadar atau tidak, proses penegakan hukum terhadap kasus korupsi sekarang ini sangat jauh dari rasa keadilan. Mereka yang benar-benar korupsi dijatuhi pidana yang sangat ringan. Sedangkan mereka yang tidak melakukan korupsi juga dijatuhi sanksi yang ringan pula, tanpa ada keberanian untuk menvonis bebas. Maka, pengadilan berubah menjadi penghukuman; sama sekali jauh dari keadilan. Padahal, pengadilan haruslah mampu memberikan keadilan bagi mereka yang mencari keadilan.

Kedua, kasus yang menimpa Sdr. Hotasi sangat aneh bila dilihat dari proses penyelidikan dan penyidikan. Lembaga seperti KPK, Bareskrim, dan BPK, yang telah melakukan pemeriksaan dan jelas-jelas menyatakan tidak ada unsur koruptif tetap dilakukan proses penyidikan oleh Kejaksaan. Dalam hukum pidana, terdapat asas atau prinsip yang disebut sebagai asas "ne bis in idem". Asas ini memberikan perlindungan kepada setiap warga bahwa mereka tidak bisa dituntut kedua kali atas hal yang sama, apabila telah dijatuhi putusan oleh hakim. Asas ne bisnis in idem ini pada dasarnya memang untuk kasus yang telah ada putusan hakim. Namun inti dari asas ini adalah adanya jaminan kepastian hukum terhadap seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana.
Bila asas ne bis in idem ini dikaitkan dengan kasus yang sedang dialami oleh Sdr. Hotasi, maka perlu dipertanyakan dalam kaitannya dengan asas ne bis in idem. Hasil pemeriksaan KPK, Bareskrim, dan BPK, sudah cukup untuk memperkuat bahwa tidak ada tindak pidana korupsi. Artinya kejaksaan telah menganulir hasil pemeriksaan KPK, Bareskrim, dan BPK. Ini berarti tidak ada kepastian hukum bagi orang yang disangka telah melakukan tindak pidana. Seharusnya berlaku juga ne bis in idem, mengingat lembaga yang paling berwenang melakukan pemeriksaan terhadap tindak pidana korupsi adalah KPK. KPK dalam hal ini melalui fungsi koordinasi seharusnya dapat memberikan petunjuk kepada Kejagung bahwa apa yang terjadi di Merpati, bukan merupakan tindak pidana sebagaimana hasil pemeriksaan KPK.

Pengalaman saya menjadi ahli di pengadilan menunjukkan bahwa Kejaksaan sangat ceroboh dengan dakwaan-dakwaannya. Sering kali perbuatan yang termasuk dalam perbuatan korupsi tidak diuraikan dengan baik dan jelas. Ada kesan asal-asalan dan menyerahkan putusan terhadap kasus tersebut kepada Majelis Hakim.

Masih ingat kasus Sisminbakum, yang ditangani Kejagung? Hasilnya, MA memutus bebas. Karena apa? Karena memang tidak ada tindak pidana korupsi.

Semoga dalam kasus ini hakim berani memutus bebas dan menyatakan tidak ada tindak pidana di Merpati.

Hukum memang demikianlah adanya. Sdr. Hotasi tetap harus berjuang untuk menggapai keadilan.

Jakarta, 14 Januari 2013
Dr. Made Darma Weda, S.H., M.S.
Dosen Pascasarjana Program Ilmu Hukum
Universitas Krisnadwipayana, Jakarta

1 komentar: