Pertama,
pemberantasan korupsi di
masa sekarang ini menjadi tren yang cukup memprihatinkan. Penegak hukum menjadikan kasus korupsi
sebagai target untuk membersihkan diri atau instansinya. Artinya, lembaga
penegak hukum merasa dirinya bersih dari tindakan koruptif ketika dia mampu
mengungkap kasus korupsi. Maka target pengungkapan korupsi menjadi penting
untuk menunjukkan bahwa mereka benar-benar mampu memberantas korupsi dan sekaligus
mendeklarasikan bahwa dirinya adalah anti korupsi.
Akibat dari
tren yang demikian
ini, maka banyak kasus yang diajukan ke pengadilan sebagai kasus korupsi.
Celakanya lagi, hakim yang mengadili kasus korupsi seolah tidak memiliki keberanian untuk mengadili berdasarkan
kebenaran. Akibatnya, jatuhlah
vonis yang ringan karena hakim tidak berani memberikan putusan bebas.
Sadar atau
tidak, proses penegakan hukum terhadap kasus korupsi sekarang ini sangat jauh dari rasa keadilan. Mereka yang benar-benar
korupsi dijatuhi
pidana yang sangat ringan. Sedangkan mereka yang tidak melakukan korupsi juga
dijatuhi sanksi yang ringan pula, tanpa ada keberanian untuk menvonis bebas.
Maka, pengadilan berubah menjadi penghukuman; sama sekali jauh dari keadilan. Padahal, pengadilan haruslah mampu memberikan keadilan
bagi mereka yang mencari keadilan.
Kedua, kasus
yang menimpa Sdr. Hotasi sangat aneh bila dilihat dari proses
penyelidikan dan penyidikan. Lembaga seperti KPK, Bareskrim, dan BPK, yang
telah melakukan pemeriksaan dan jelas-jelas menyatakan tidak ada unsur koruptif
tetap dilakukan proses penyidikan oleh Kejaksaan. Dalam hukum pidana, terdapat asas atau prinsip yang disebut sebagai asas "ne bis in idem". Asas ini
memberikan perlindungan kepada setiap warga bahwa mereka tidak bisa dituntut
kedua kali atas hal yang sama, apabila telah dijatuhi putusan oleh hakim. Asas ne bisnis in idem ini pada dasarnya
memang untuk kasus yang telah ada putusan hakim. Namun inti dari asas ini adalah adanya jaminan
kepastian hukum terhadap seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana.
Bila asas ne bis in idem ini dikaitkan dengan
kasus yang sedang dialami oleh Sdr. Hotasi, maka perlu dipertanyakan dalam kaitannya dengan asas ne bis in idem. Hasil pemeriksaan KPK,
Bareskrim, dan BPK, sudah cukup untuk memperkuat bahwa
tidak ada tindak pidana korupsi. Artinya kejaksaan telah menganulir hasil pemeriksaan
KPK, Bareskrim, dan BPK. Ini berarti tidak ada kepastian hukum
bagi orang yang disangka telah melakukan tindak pidana. Seharusnya berlaku juga
ne bis in idem, mengingat lembaga
yang paling berwenang melakukan pemeriksaan terhadap tindak pidana korupsi
adalah KPK. KPK dalam hal ini melalui fungsi koordinasi seharusnya dapat
memberikan petunjuk kepada Kejagung bahwa apa yang terjadi di Merpati, bukan
merupakan tindak pidana sebagaimana hasil pemeriksaan KPK.
Pengalaman saya menjadi ahli di pengadilan menunjukkan bahwa Kejaksaan sangat ceroboh dengan
dakwaan-dakwaannya. Sering kali perbuatan yang termasuk dalam perbuatan korupsi
tidak diuraikan dengan baik dan jelas. Ada kesan asal-asalan dan menyerahkan
putusan terhadap kasus tersebut kepada Majelis Hakim.
Masih ingat
kasus Sisminbakum, yang ditangani Kejagung? Hasilnya, MA memutus bebas. Karena
apa? Karena memang tidak ada tindak pidana korupsi.
Semoga dalam
kasus ini hakim berani memutus bebas dan menyatakan tidak
ada tindak pidana di Merpati.
Hukum memang
demikianlah adanya. Sdr. Hotasi tetap harus berjuang untuk menggapai keadilan.
Jakarta, 14
Januari 2013
Dr. Made Darma
Weda, S.H., M.S.
Dosen
Pascasarjana Program Ilmu Hukum
Universitas
Krisnadwipayana, Jakarta
Terima Kasih atas pendapatnya. Semoga Hukum kita lebih baik.
BalasHapus