“Saya kehilangan mobil, lalu panggil
polisi. Kami pun sepakat untuk mengejar maling itu dan ketemu. Maling itu
mengaku. Namun dia ada di seberang sungai. Untuk menyeberang sungai perlu
peralatan dan usaha. Jadi, kami balik ke rumah dulu. Begitu sampai di rumah,
saya ditahan polisi. Alasan polisi: gerbang rumah saya tidak digembok, karena
maling mencuri mobil saya. Jadi, obyek masalah dalam kasus ini diabaikan.”
Itulah ilustrasi terkait kasus penyewaan
pesawat oleh PT Merpati Nusantara Airlines pada 2006, yang oleh kejaksaan
diindikasi berbau korupsi.
Melihat kembali ke belakang, kasus
penyewaan pesawat ini dilatari oleh krisis perusahaan yang dialami Merpati pada
2006. Saat itu, Merpati kekurangan pesawat. Untuk menambah pemasukan
perusahaan, Merpati harus menambah pesawat. Namun tak mudah untuk menambah
pesawat melalui sewa. Pihak pemberi sewa pesawat di Amerika Serikat menganggap
Merpati kurang kredibel. Dengan demikian, ketika ingin menyewa pesawat, Merpati
harus membayarnya di muka, sementara keuangan perusahaan Merpati saat itu
kurang memungkinkan.
Maka, setelah mengumpulkan uang yang cukup, direksi Merpati pun memberanikan diri menyewa pesawat. Kebetulan ada yang mau menyewakan pesawat dengan harga yang menarik. Namun, lagi-lagi, pihak pemberi sewa, dalam hal ini Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG) dari Amerika Serikat, ingin Merpati membayar uang sewa secara tunai di muka.
Jika menggunakan uang tunai, Merpati menganggap risikonya terlalu besar. Lalu, disepakatilah menggunakan security deposit. Uang dititipkan ke pihak ketiga yang independen dan memiliki dasar hukum yang kuat. Jadi, ketika sewa pesawat batal, uang bisa kembali.
Ternyata TALG tidak mengirim dua pesawat yang dijanjikan. Padahal uang US$ 1 juta untuk sewa pesawat sudah dikirim ke security deposit. Ketika security deposit akan diminta, TALG mengambil uang tersebut dari pihak ketiga dengan cara ilegal. Merpati pun mengadukan tindak pidana ini ke pengadilan Amerika Serikat. Akhirnya, pengadilan AS memutuskan TALG bersalah dan harus mengembalikan uang US$ 1 juta yang diambil dari Merpati.
Hingga saat ini, TALG baru mengembalikan US$ 4.800 dari US$ 1 juta uang Merpati. Yang mengherankan dari kasus ini, tiba-tiba kejaksaan menganggap kasus gagalnya sewa pesawat yang dilakukan Merpati ke TALG itu dianggap sebagai perkara korupsi. Direktur Utama dan GM Pengadaan Pesawat Merpati dijadikan tersangka.
Bagaimana bisa sebuah kasus wanprestasi alias perkara perdata masuk dalam ranah korupsi? Inilah yang menjadi materi dalam diskusi Lembaga Komisaris dan
Direktur Indonesia (LKDI) pada 19 Desember 2012. Dalam diskusi ini dibahas
risiko pengambilan keputusan oleh direksi perusahaan (BUMN) yang bisa berakibat
kriminalisasi oleh penegak hukum. Para pejabat perusahaan BUMN diminta harus
waspada ketika mengambil keputusan bisnis. Ini karena mereka bisa berpotensi
dikriminalkan (dianggap korupsi) ketika kebijakan tersebut merugikan keuangan
negara.
Dari diskusi ini dapat ditarik kesimpulan
bahwa kasus kriminalisasi kebijakan direksi bisa membuat BUMN tidak lincah
dalam menjalankan bisnis. Para direksi menjadi takut jika ingin membuat
keputusan. Bahkan, para direksi bisa mengambil kesimpulan, lebih baik “tidak berbuat
apa-apa” daripada mengambil kebijakan bisnis tetapi dikriminalkan kalau perusahaan
rugi. Ini tentu saja membuat bisnis menjadi tidak berkembang. Di mana pun
bisnis selalu mengandung risiko. Itu wajar. Yang tidak wajar adalah ketika
direksi menjalankan bisnis BUMN, kerugian dianggap suatu tindakan kriminal. Dan
direksinya dipidanakan. Preseden ini tentu bisa membuat para profesional takut
menjalankan profesi secara maksimal.
Semoga kasus penyewaan pesawat oleh Merpati
ini tidak menjadi “martil” dari kebijakan direksi yang berujung pada
kriminalisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar