JADWAL SIDANG KASUS SEWA PESAWAT MERPATI

MA MEMVONIS EMPAT TAHUN DAN DENDA RP 200 JUTA ATAS KASUS MERPATI. KEPUTUSAN YANG SUNGGUH MENGEJUTKAN. PADAHAL SEBELUMNYA PENGADILAN TIPIKOR JAKARTA MEMVONIS BEBAS. HARAPAN ADA DI PENGAJUAN PK. MOHON DUKUNGAN DEMI TEGAKNYA KEADILAN. |

Fadjroel Rachman: Hotasi Korban dari Inkonsistensi Undang-Undang


Foto: Pedomannews.com
Saya mengenal Hotasi Nababan sejak kami sama-sama kuliah dan aktif di kegiatan kampus di ITB. Saya melihat Hotasi merupakan orang yang cerdas, memiliki kemampuan berorganisasi yang menonjol, memiliki integritas, punya kepedulian yang tinggi, dan orang yang pluralis.

Setelah menjadi Direktur Utama Merpati pun tidak ada yang berubah pada dirinya. Jadi, cukup mengejutkan buat saya saat mendengar Hotasi dituduh melakukan tindak pidana korupsi. Menurut saya, tidak mungkin Hotasi yang telah menginvestasikan dirinya selama ini untuk menjadi orang yang memiliki integritas mau menghancurkan itu dalam waktu singkat.

Saya mendapatkan kabar kasus tersebut melalui SMS yang dikirimkan oleh Hotasi sendiri. Kebetulan saya memiliki media Pedomannews.com. Saya pun langsung memerintahkan redaksi untuk menyelidiki kasus tersebut. Kebetulan saya juga kuliah di Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dengan konsentrasi hukum ekonomi.  Jadi, saya banyak berdiskusi dengan dosen FHUI, terutama Prof. Erman Rajagukguk, tentang perkara yang membelit Hotasi.

Dari data-data dan hasil diskusi yang saya peroleh, saya menilai kasus Hotasi ini merupakan korban dari inkonsistensi antara Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara) dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN (UU BUMN) dan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), terutama menyangkut kedudukan keuangan negara sebagai kekayaan negara yang dipisahkan.

Dalam UU Keuangan Negara, uang negara yang disertakan dalam modal BUMN merupakan milik negara. Sedangkan pada UU BUMN, dinyatakan uang negara menjadi kekayaan negara yang dipisahkan. Sehingga pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada UU Keuangan Negara, melainkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat sesuai dengan UU PT. Artinya, kerugian yang dialami oleh BUMN tidak bisa diartikan sebagai kerugian negara. Karena itu, keputusan-keputusan bisnis yang diambil oleh pemimpin BUMN harus didasarkan pada UU PT, dan itu tidak dapat dikriminalkan.

Harapan saya kepada Hotasi agar ia menghadapi kasus ini tanpa ragu, dan membuka semua data yang ada. Keputusan pengadilan distrik di Amerika Serikat juga harus terus diungkapkan kepada publik, agar publik mengetahui kasus ini sudah diputuskan sebagai kasus wanprestasi dan merupakan kasus perdata.

Saya juga berharap agar kejaksaan juga memeriksa fatwa MA tahun 2006, serta banyak berdiskusi dengan para ahli di bidang hukum perusahaan. Dan yang lebih penting lagi adalah agar inkonsistensi UU ini dapat diatasi segera oleh DPR. Hal ini bertujuan agar para pemimpin BUMN yang lain tidak ragu-ragu dalam mengambil keputusan bisnis.

Testimoni aktivis antikorupsi Fadjroel Rachman ini disarikan dari buku Jangan Pidanakan Perdata karya Hotasi Nababan. Buku ini secara lengkap dapat dibaca di sini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar