Saya mengenal Hotasi Nababan sejak kami sama-sama kuliah dan
aktif di kegiatan kampus di ITB. Saya melihat Hotasi merupakan orang yang
cerdas, memiliki kemampuan berorganisasi yang menonjol, memiliki integritas, punya
kepedulian yang tinggi, dan orang yang pluralis.
Setelah menjadi Direktur Utama Merpati pun tidak ada yang
berubah pada dirinya. Jadi, cukup mengejutkan buat saya saat mendengar Hotasi
dituduh melakukan tindak pidana korupsi. Menurut saya, tidak mungkin Hotasi
yang telah menginvestasikan dirinya selama ini untuk menjadi orang yang
memiliki integritas mau menghancurkan itu dalam waktu singkat.
Saya mendapatkan kabar kasus tersebut melalui SMS yang
dikirimkan oleh Hotasi sendiri. Kebetulan saya memiliki media Pedomannews.com.
Saya pun langsung memerintahkan redaksi untuk menyelidiki kasus tersebut. Kebetulan
saya juga kuliah di Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dengan
konsentrasi hukum ekonomi. Jadi, saya
banyak berdiskusi dengan dosen FHUI, terutama Prof. Erman Rajagukguk, tentang
perkara yang membelit Hotasi.
Dari data-data dan hasil diskusi yang saya peroleh, saya
menilai kasus Hotasi ini merupakan korban dari inkonsistensi antara
Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara) dengan
Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN (UU BUMN) dan Undang-Undang No. 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), terutama menyangkut kedudukan
keuangan negara sebagai kekayaan negara yang dipisahkan.
Dalam UU Keuangan Negara, uang negara yang disertakan dalam
modal BUMN merupakan milik negara. Sedangkan pada UU BUMN, dinyatakan uang
negara menjadi kekayaan negara yang dipisahkan. Sehingga pengelolaannya tidak
lagi didasarkan pada UU Keuangan Negara, melainkan pada prinsip-prinsip
perusahaan yang sehat sesuai dengan UU PT. Artinya, kerugian yang dialami oleh
BUMN tidak bisa diartikan sebagai kerugian negara. Karena itu,
keputusan-keputusan bisnis yang diambil oleh pemimpin BUMN harus didasarkan
pada UU PT, dan itu tidak dapat dikriminalkan.
Harapan saya kepada Hotasi
agar ia menghadapi kasus ini tanpa ragu, dan membuka semua data yang ada.
Keputusan pengadilan distrik di Amerika Serikat juga harus terus diungkapkan
kepada publik, agar publik mengetahui kasus ini sudah diputuskan sebagai kasus
wanprestasi dan merupakan kasus perdata.
Saya juga berharap agar
kejaksaan juga memeriksa fatwa MA tahun 2006, serta
banyak berdiskusi dengan para ahli di bidang hukum perusahaan. Dan yang lebih
penting lagi adalah agar inkonsistensi UU ini dapat diatasi segera oleh DPR.
Hal ini bertujuan agar para pemimpin BUMN yang lain tidak ragu-ragu dalam
mengambil keputusan bisnis.
Testimoni aktivis antikorupsi Fadjroel Rachman ini disarikan dari buku Jangan Pidanakan Perdata karya Hotasi Nababan. Buku ini secara lengkap dapat dibaca di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar