Saya mengenal Hotasi Nababan
cukup lama. Begitu ia masuk ke BUMN, saya menaruh harapan
yang sangat besar. Saat itu, tidak banyak profesional yang berani masuk ke BUMN seperti saat ini
yang sudah memberi ruang yang besar bagi profesionalisme, transparansi,
dan peran pasar. Ingatlah saat ia memimpin Merpati, Indonesia baru saja
memasuki krisis yang amat memilukan dan dunia airlines terpuruk tajam. PTDI (Dirgantara Indonesia) saja tak bisa lepas landas. Jelas tak
banyak orang yang berani memimpin selain orang-orang yang mencari jabatan dan
rasa aman. Sudah begitu, maaf saja, gajinya pun tak begitu memadai. CEO BUMN
saat itu benar-benar underpaid, meski
di atas
gaji PNS tentunya. Maka, kalau ada satu dua CEO pofesional, Anda bisa duga apa yang
akan terjadi pada dirinya. Tetapi tanpa mereka mana ada transformasi, apalagi
reformasi. Tak ada kesejahteraan baru. Tak ada pembaruan.
Hotasi termasuk CEO yang menurut saya punya keberanian melakukan perubahan. Namun,
sekali lagi,
perubahan itu berisiko, apalagi perusahaan yang ia masuki bukanlah perusahaan yang sehat
dan memiliki kemampuan keuangan yang memadai. Bahkan business model-nya pun perlu diperbaiki, diubah arahnya. Warisan yang ia terima
bukanlah warisan yang sudah baik dari sananya. Maka, keberanian sangat
dibutuhkan. Beberapa kali saya memuji langkah-langkahnya.
Bagi saya, Hotasi adalah salah satu putra terbaik yang kita miliki. Di
antara kawan-kawan dan seniornya dari ITB, ia dikenal sebagai orang yang supel,
having a clear direction, dan bukan
orang yang mudah meng-entertain
kekuasaan. Namun sesuatu yang saya ramalkan kepada para change maker pun menimpa dirinya. Merpati tertipu oleh pelaku usaha
dalam bisnis sewa-menyewa pesawat dari Amerika Serikat. Ibarat pesawat Sukhoi
yang bertransformasi dari industri pesawat tempur ke pesawat penumpang, saat
permintaan tinggi, ia justru menabrak gunung dan terjerembab.
Tetapi, bukankah ini persoalan biasa dalam bisnis, dan penipu bisa
dilaporkan kepada polisi dan diseret ke muka pengadilan? Bukankah hampir setiap
hari para CEO bank mengalami hal serupa, bahkan puluhan kali dalam sehari,
sekalipun mereka telah memagarinya dengan risk
management dan dikawal direktur kepatuhan?
Saya hanya berharap para penegak hukum bisa memahami sifat dari dunia
bisnis dan tidak hanya menggunakan dalil hukum untuk menyeret orang-orang tak
bersalah. Seperti Anda, saya pun muak dengan korupsi. Saya muak dengan koruptor dan
kekuasaan. Tetapi saya lebih muak lagi melihat ketidakadilan. Kita memang
dibesarkan dalam disiplin ilmu, warna pikiran, dan pengalaman yang berbeda-beda,
sehingga bisa saja melihat dari kacamata yang berbeda pula. Maka, izinkan saya memberikan apa
yang saya lihat, yang menurut saya perlu keberanian dalam melihat dan menguji
kebenaran. Bukankah kebenaran hanya bisa ditegakkan melalui keberanian dalam
menatap dan mengujinya?
Testimoni Guru Besar FEUI dan praktisi bisnis Rhenald
Kasali ini disarikan dari buku Jangan Pidanakan Perdata karya Hotasi Nababan. Buku ini secara lengkap dapat dibaca di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar